Dana Negara Rp 200 Triliun Digeser Semena-mena, Didik Rachbini: Dana Negara Bukan ATM Kekuasaan
- account_circle Admin
- calendar_month Sab, 20 Sep 2025

Prof. Didik Junaidi Rachbini, M.Sc., Ph.D., Seorang Ekonom.
JAKARTA – Pemerintah kembali menunjukkan gaya “jalan pintas” dalam mengelola uang rakyat. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dengan enteng memindahkan Rp 200 triliun dana pemerintah dari Bank Indonesia ke lima bank BUMN.
Dalihnya! menjaga likuiditas dan menggerakkan ekonomi. Namun, langkah ini bukan hanya janggal, tapi juga diduga keras melanggar konstitusi.
Ekonom senior INDEF, Didik J. Rachbini, menembakkan kritik tajam. Menurutnya, manuver Rp 200 triliun itu jelas menabrak tiga undang-undang sekaligus: UUD 1945 Pasal 23, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, serta UU APBN. Bahkan, potensi pelanggaran juga mengintip pada UU Perbendaharaan Negara.
“Ini kebijakan ugal-ugalan. Anggaran negara bukan anggaran privat yang bisa dipindah sesuka hati. Menteri atau bahkan presiden sekalipun tidak berhak memperlakukan uang publik seperti rekening pribadi,” tegas Didik dalam pernyataannya, Selasa (16/9/2025).

Purbaya Yudhi Sadewa., Menteri Keuangan.
Langkah yang disebut sebagai “strategi likuiditas” itu, kata Didik, sejatinya menginjak-injak prosedur konstitusional. APBN seharusnya dibahas terbuka di DPR, disahkan melalui mekanisme legislasi, lalu dieksekusi sesuai Rencana Kerja Pemerintah. Bukan tiba-tiba nyelonong dengan angka triliunan rupiah.
“Kalau pola main seperti ini dibiarkan, ke depan APBN bisa jadi sapi perah politik. Dana publik diperlakukan seperti ATM kekuasaan. Ini berbahaya, preseden buruk bagi ketatanegaraan,” ujarnya.
Didik bahkan mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera turun tangan menghentikan praktik yang disebutnya sebagai “pelemahan aturan main dan kelembagaan negara”. Kritiknya ini juga menyinggung bahwa pemerintahan sebelumnya pun kerap menggunakan trik serupa, sehingga publik kembali dipertontonkan watak kekuasaan yang gemar menabrak konstitusi demi dalih pragmatis.

Di balik layar, bank-bank BUMN penerima dana jumbo itu – BRI, BNI, Mandiri, BTN, dan BSI – tentu diuntungkan dengan limpahan dana segar. Tapi yang perlu diwaspadai, siapa yang benar-benar diuntungkan ketika dana publik disalurkan dalam bentuk kredit perusahaan? Apakah rakyat kecil, atau justru konglomerat yang bersandar pada kedekatan politik?
Publik pantas curiga. Rp 200 triliun bukan angka kecil. Dana sebesar itu bisa membiayai program kesehatan, pendidikan, hingga pembangunan infrastruktur yang nyata untuk rakyat. Namun, kini dialirkan dengan cara yang Didik sebut “spontan, serampangan, dan ilegal”.
Opini publik pun terbelah. Ada yang menilai ini bagian dari akrobat fiskal demi stabilitas ekonomi, namun kritik keras Didik mengingatkan: demokrasi bukan panggung sulap, dan uang rakyat bukan alat sulap fiskal. Negara hukum menuntut tata aturan, bukan improvisasi menteri.
Pada akhirnya, kritik Didik Rachbini menggema sebagai peringatan keras: jangan sekali-kali menganggap enteng undang-undang. Sebab bila uang negara bisa diputar seenaknya, maka runtuhlah benteng demokrasi, dan rakyat hanya jadi penonton yang dipalak oleh kuasa. (Tim)
Editor – Ray

pwhj5e
21 September 2025 7:44 AMhttps://shorturl.fm/PMpo3
20 September 2025 10:24 PMhttps://shorturl.fm/J8yOB
20 September 2025 2:41 PMv046wa
20 September 2025 2:12 PM