Gungde Soroti Dugaan Siswa Siluman di Sekolah Negeri, “Ini Bukan Sekadar Curang, Tapi Merusak Masa Depan Bali”
- account_circle Admin
- calendar_month Kam, 24 Jul 2025

{"remix_data":[],"remix_entry_point":"challenges","source_tags":["local"],"origin":"unknown","total_draw_time":0,"total_draw_actions":0,"layers_used":0,"brushes_used":0,"photos_added":0,"total_editor_actions":{},"tools_used":{"transform":1},"is_sticker":false,"edited_since_last_sticker_save":true,"containsFTESticker":false}
Denpasar – Tokoh masyarakat dan pemerhati pendidikan Bali, AA Gede Agung Aryawan alias Gungde, angkat bicara keras terkait dugaan praktik kecurangan dalam pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) atau SPMB tahun 2025 di sejumlah sekolah negeri di Bali.
Ia menyebut fenomena “siswa siluman”—siswa yang tidak tercatat dalam sistem pengumuman resmi namun tiba-tiba mengikuti kegiatan sekolah sebagai bentuk pengkhianatan terhadap masa depan generasi muda dan warisan luhur Bali.

Menurut Gungde, hasil pengumuman resmi secara daring hanya mencantumkan lima kelas, namun di lapangan muncul hingga sepuluh kelas. “Dari mana lima kelas tambahan ini muncul? Tentu bukan dari langit. Ini patut diduga kuat sebagai siswa titipan pejabat, jalur belakang, atau ‘jalur bekingan’. Ini adalah bentuk korupsi pendidikan yang sangat terkutuk,” ujar Gungde.
Ia menilai praktik semacam ini bukan hanya melanggar aturan administratif, tetapi juga merusak nilai-nilai moral dan budaya yang selama ini dijunjung tinggi di Bali.
“Kita sering dengar Gubernur Wayan Koster bicara tentang kutukan leluhur terhadap perusak lingkungan. Tapi ini lebih parah. Menerima siswa siluman melalui jalur curang berarti membuka gerbang kehancuran generasi penerus Bali. Ini akan mengundang kutukan moral dan sosial yang lebih berat,” tegasnya.
Lebih jauh, Gungde menyatakan bahwa pendidikan seharusnya menjadi tempat yang adil dan bersih dari intervensi kekuasaan. “Kalau sekolah saja sudah dikotori oleh praktik curang, bagaimana kita bisa berharap akan lahir pemimpin masa depan yang jujur? Kita akan melahirkan generasi yang terbiasa menyiasati hukum, bukan menaati hukum. Dan inilah awal dari meningkatnya narkoba, seks bebas, dan kenakalan remaja,” ujarnya dengan nada prihatin.
Tri Hita Karana Jangan Hanya Jadi Slogan
Gungde mengingatkan agar prinsip Tri Hita Karana tidak hanya dijadikan jargon tanpa makna. “Tri Hita Karana berbicara tentang harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Tapi jika kita membiarkan praktik titipan siswa curang ini terus terjadi, maka hubungan antarmanusia sudah kita rusak sendiri, terutama antara pemegang kekuasaan dan rakyat biasa yang anaknya gagal masuk karena kalah ‘bekingan’,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa jika kepala sekolah negeri tunduk pada tekanan pejabat atau oknum penguasa, maka mereka tidak layak duduk di posisi tersebut.
“Kepala sekolah seperti ini lebih baik mundur. Mereka bukan pendidik, tapi pelayan kekuasaan. Mereka bukan membentuk karakter, tapi menghancurkan masa depan anak-anak Bali,” tandas Gungde.
Ia mendorong agar Ombudsman, Dinas Pendidikan, hingga aparat hukum benar-benar menelusuri dan mengusut tuntas praktik siswa siluman ini. “Jika tidak, publik akan kehilangan kepercayaan pada sistem pendidikan. Dan itu jauh lebih berbahaya daripada sekadar kegagalan teknis,” pungkasnya. (Ray)

Saat ini belum ada komentar