Pansus TRAP dan Babak Uji Kebijaksanaan Hukum di Bali
- account_circle Ray
- calendar_month 3 jam yang lalu

Advokat I Made Somya Putra, SH., MH.
DENPASAR – Dinamika penanganan persoalan tata ruang Bali kembali mengemuka setelah banjir bandang menerjang sejumlah wilayah. Di tengah keresahan publik terkait rusaknya pengelolaan ruang dan lingkungan, DPRD Bali membentuk Pansus Tata Ruang (Pansus TRAP).
Harapan publik naik seketika—terlebih ketika temuan awal menyinggung bangunan besar seperti UC Silver, Mal Bali Galeria, hingga terbitnya sertifikat hak milik di kawasan Tahura yang dinilai penuh kejanggalan. Masyarakat sempat merasa mendapat “parasetamol” di tengah “demam” bencana ekologis yang tak kunjung terobati.

Namun geliat awal Pansus yang menyisir aliran sungai tak diikuti langkah konkret berupa penyegelan terhadap pelaku pelanggaran kelas kakap. Arah penyisiran kemudian melebar: sawah, tebing, hingga urusan kecil masyarakat adat dan petani. Ironisnya, bukit-bukit terkikis, galian liar, dan aliran pasir yang hilang justru tak tersentuh.
Dinamika semakin gaduh ketika Pansus menyegel lift di Pantai Kelingking yang sudah 70% rampung dan diketahui didukung desa adat, serta menindak rumah makan milik petani di Jatiluwih. Fokus isu pun bergeser: dari bencana banjir bandang, menjadi polemik terhambatnya investasi dan upaya petani mencari nafkah. Penyebab banjir, yang mestinya tetap menjadi inti persoalan, perlahan tenggelam.
Padahal, jika kembali pada akar masalah, banjir bandang dipicu tumpukan kayu di sungai, penebangan hutan, pengerusakan bukit di Dawan–Klungkung, dan gejolak soal lahan di berbagai desa. Isu lingkungan menguap, digantikan hiruk-pikuk perebutan ruang usaha.
Pansus TRAP seperti mendapat “darah segar” setelah Instruksi Gubernur Bali Nomor 5 Tahun 2025 terbit mengenai alih fungsi lahan. Namun instruksi ini dinilai janggal—terbit setelah enam tahun visi Sad Kerti Loka Bali berjalan, dengan dasar hukum lama sejak 2007–2023.
Tanpa instruksi pun, alih fungsi lahan seharusnya tidak bisa dilakukan. Ini menegaskan: bukan regulasinya yang kurang, tetapi implementasi dan pengawasannya yang lumpuh.
Mirisnya, banyak anggota Pansus adalah politisi senior yang sudah duduk berkali-kali periode. Namun kegaduhan tata ruang seolah baru terdengar sekarang. Suara kerusakan ruang yang sudah lama “benyah” justru lenyap bertahun-tahun di ruang parlemen.
Beruntung DPRD Bali tidak meniru gaya DPR RI yang mengarahkan sorotan pada pemerintah pusat—misalnya meminta menteri mundur. Namun sayangnya, arah penindakan di Bali justru lebih menyasar masyarakat, investor, dan pelaku usaha kecil.
Penyegelan lift, warung petani, hingga polemik Jatiluwih bagaikan riuh pengalihan isu, sementara banjir bandang dan kerusakan lingkungan di Tukad Unda belum juga terurai, dan dugaan pengerukan bukit untuk proyek-proyek besar kian santer terdengar.
Tak hanya itu, BKSDA Bali pun ikut menuai sorotan dengan dugaan pemberian izin “silib” di Kintamani, di kawasan hutan lindung yang berubahfungsi menjadi TWA.
Di tengah kekacauan tata ruang ini, pola penanganan tampak terbalik: perilaku merusak alam adalah masalah lama, tetapi justru dihadapi dengan gaya “penindakan kekinian” yang lebih fokus pada penyegelan dan wacana dramatis.
Padahal, persoalan sesungguhnya adalah kultur hukum: masyarakat yang abai, aparat yang diduga menjadi “tukang cuk” aktivitas ilegal, dan pemerintah yang membiarkan proyek berjalan tanpa kontrol memadai—bahkan muncul isu “saham kosong dan dana pemilu” yang membayangi sejumlah proyek.
Perlu diingat: kewenangan absolut berpotensi mengundang korupsi. Maka patut dipertanyakan—apakah kewenangan segel-menyegel tidak membuka peluang terjadinya “deal-dealan pelicin” oleh oknum tertentu?
Sebelum menuding pihak lain, ada baiknya semua pemangku kepentingan menatap empat jari yang kembali pada diri sendiri. Saatnya Bali menegakkan Legal System secara utuh: substansi hukum yang jelas, struktur hukum yang tegas, dan budaya hukum yang benar.
Penindakan harus diarahkan pada akar masalah banjir bandang—alih fungsi lahan, penebangan, dan pengerusakan lingkungan—serta penuh kebijaksanaan terhadap usaha kecil masyarakat yang hanya menghidupi keluarga.
Inilah titik uji kebijaksanaan hukum di Bali.
Semoga ujian ini lulus. Karena Bali harus diselamatkan. (Tim)
Berjayalah.

Saat ini belum ada komentar