Kemasan 1 Liter Hanya Himbauan, Jangan Jadikan Rakyat Bali Korban Kegagalan TPST 400 Miliar Rupiah
- account_circle Admin
- calendar_month Sab, 25 Okt 2025

Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas.
DENPASAR – Polemik Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah terus menuai kecaman. Aturan yang melarang produksi dan penjualan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) berukuran di bawah satu liter itu dinilai tidak bijak dan tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat luas.
Alih-alih menyelesaikan persoalan sampah, kebijakan ini justru menekan pelaku usaha kecil dan masyarakat yang selama ini taat aturan. Publik menilai kebijakan tersebut hanyalah cara mudah untuk menutupi kegagalan besar pemerintah dalam mengelola sampah di Bali, terutama setelah proyek Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) yang menelan dana negara lebih dari Rp400 miliar terbukti gagal berfungsi optimal.
Sampah tetap menumpuk, lingkungan tidak tertangani, sementara masyarakat kini justru dipaksa memikul beban dari kegagalan kebijakan tersebut.
“Ini bukan kegagalan masyarakat Bali, tapi ketidakbecusan pemerintah mengelola uang negara,” ujar seorang netizen, Jumat (25/10). Menurutnya, pelarangan produksi air minum kemasan kecil tanpa solusi nyata hanyalah bentuk arogansi kebijakan yang tidak memahami kondisi lapangan.
Pernyataan Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, mempertegas bahwa masyarakat sebenarnya tidak wajib tunduk pada aturan yang tidak memiliki dasar hukum kuat.
“Yang namanya surat edaran itu bukan peraturan perundang-undangan. Tidak ada alat paksanya, jadi tidak bisa dipaksakan. Itu hanya himbauan saja,” tegas Supratman saat menghadiri Indonesia Digital Conference (IDC) 2025 di Jakarta.
Pernyataan itu memperkuat posisi masyarakat untuk menolak kebijakan yang hanya bersifat imbauan namun diterapkan seolah peraturan wajib. Sementara itu, Gubernur Bali Wayan Koster mengancam akan mencabut izin usaha produsen AMDK yang tidak menandatangani persetujuan terhadap SE tersebut.
Langkah itu justru dinilai berlebihan karena tidak memiliki landasan hukum kuat. Beberapa ahli hukum menyebut ancaman tersebut berpotensi melanggar prinsip keadilan dan kebebasan berusaha.
Di sisi lain, kegagalan proyek TPST menjadi sorotan tajam publik. Proyek yang dibiayai dari APBN itu seharusnya menjadi solusi jangka panjang penanganan sampah di Bali, namun justru berakhir dengan tumpukan masalah baru. Pemerintah menutup TPA tanpa menyiapkan solusi konkret, menyebabkan masyarakat kehilangan akses terhadap layanan pembuangan sampah.
“Bagaimana mungkin proyek ratusan miliar gagal total, tapi masyarakat justru yang diberatkan? Ini harusnya jadi perhatian serius Kejaksaan karena berpotensi menimbulkan kerugian negara,” ujar seorang pengamat kebijakan publik di Denpasar.

Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto bahkan mempersilakan masyarakat menggugat SE tersebut ke Mahkamah Agung jika merasa dirugikan.
“Kalau memang bertentangan dengan peraturan di atasnya, silakan diuji materikan ke MA,” ujarnya, menandakan bahwa masyarakat punya hak hukum penuh untuk melawan aturan yang tidak relevan.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pun menilai kebijakan Pemprov Bali perlu disusun ulang dengan koordinasi lintas sektor agar tidak menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang luas. Deputi Bidang Koordinasi Industri, Ketenagakerjaan, dan Pariwisata, Mohammad Rudy Salahuddin, menekankan bahwa setiap kebijakan harus mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara menyeluruh.

“Pemerintah daerah perlu memastikan tersedianya sarana pengelolaan sampah yang memadai, termasuk penerapan teknologi dan inovasi,” kata Rudy.
Polemik ini menunjukkan belum terpadunya antara semangat menjaga lingkungan dengan kebijakan yang realistis di lapangan. Masyarakat menilai, tanggung jawab utama pengelolaan sampah ada di tangan pemerintah, bukan rakyat yang justru dibatasi ruang usahanya. Kegagalan proyek TPST senilai Rp400 miliar menjadi simbol nyata gagalnya negara mengelola uang rakyat, dan masyarakat tidak boleh dijadikan kambing hitam atas kegagalan tersebut, dikutip dari beberapa unsur media online.
Dalam konteks itu, perlawanan masyarakat bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan bagian dari kesadaran hukum dan keadilan sosial untuk mempertahankan hak hidup yang layak. Hukum seharusnya melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan, bukan menjadi alat untuk menindasnya.
Kebijakan yang baik seharusnya hadir dengan solusi, bukan sekadar larangan. Bila pemerintah daerah sungguh serius menjaga lingkungan, maka pembangunan fasilitas dan inovasi pengelolaan sampah harus menjadi prioritas, bukan justru menjadikan masyarakat korban dari kebijakan yang gagal di tingkat pemerintah sendiri. (Tim)

https://shorturl.fm/DmSAH
27 Oktober 2025 4:52 PMyxorls
26 Oktober 2025 12:26 PM