Agama di KTP, Simbol Iman atau Bentuk Pemaksaan
- account_circle Admin
- calendar_month Sab, 27 Sep 2025

Jakarta, 22 September 2025 – Dalam tiga tahun terakhir, sebanyak 18.963 warga Jawa Tengah memilih mengubah kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi “Penghayat Kepercayaan”. Fenomena ini memicu perdebatan sengit setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan penolakannya, dengan alasan penghayat kepercayaan tidak memenuhi syarat sebagai agama.

Menurut Ketua MUI Bidang Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan, Prof. Utang Ranuwijaya, agama harus memiliki nabi, kitab suci, serta ritual dan tempat ibadah. “Ketiga persyaratan ini tidak ada dalam penghayat kepercayaan. Jadi jelas, penghayat kepercayaan bukanlah agama,” tegasnya.
MUI juga mendesak pemerintah tetap berpegang pada enam agama resmi di Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Menurut MUI, jika kolom agama dibiarkan kosong atau diisi penghayat kepercayaan, negara seakan membolehkan warganya hidup tanpa agama, yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Namun, suara publik justru memperlihatkan perspektif berbeda. Seorang netizen menuliskan, “Fun fact, punya nabi/punya kitab punya ritual itu hanya persepsi dari Agama Islam aja. Nyatanya Buddha-Hindu gak mengenal konsep Nabi tapi tetap diakui sebagai agama besar di dunia. Biarkan WNI memilih agamanya sesuai keyakinannya.” dikutip dari tiktok
https://vt.tiktok.com/ZSDpbjdTn/
@gerakanpisofficial_MUI kepanasan guys🤭 #pergerakanindonesiauntuksemua #majelisulamaindonesia #beritatiktok #tiktokviral #fyp
Pertanyaan kritis pun menyeruak, di tengah zaman modern, masih relevankah negara dan lembaga agama memaksakan identitas keyakinan pada warganya? Apakah urusan kolom agama di KTP benar-benar menyelamatkan moral bangsa, atau sekadar simbol administratif yang menutupi persoalan nyata seperti kemiskinan, korupsi, dan ketidakadilan sosial?

Ironinya, bangsa yang dielu-elukan sebagai religius masih terjebak dalam paradoks, rakyat berjuang dengan harga sembako, biaya sekolah, hingga akses kesehatan, sementara sebagian pemuka agama justru tampil dengan mobil mewah dan gaya hidup glamor.
Jika agama hanya berhenti pada simbol tanpa mampu menjadi kekuatan moral yang membebaskan rakyat dari penderitaan, maka perdebatan soal agama di KTP tak lebih dari formalitas. Pada akhirnya, yang layak ditanyakan adalah: apakah agama di KTP sekadar tanda, atau justru bentuk pemaksaan keyakinan yang mengabaikan kebebasan pribadi. (Ray)

ot2otc
1 Oktober 2025 6:18 AMhttps://shorturl.fm/0sgio
30 September 2025 10:02 AM