Dugaan Pemaksaan Hapus Rekaman, Bayangan Intimidasi di Aksi Solidaritas Bali
- account_circle Ray
- calendar_month Sab, 30 Agu 2025

DENPASAR – Suasana demonstrasi solidaritas atas meninggalnya Affan Kurniawan di Bali seharusnya menjadi ruang bagi masyarakat menyuarakan keadilan. Namun, di tengah teriakan dan spanduk protes, muncul dugaan praktik intimidasi, di mana aparat disebut-sebut memaksa seorang perempuan menghapus rekaman video di telepon genggamnya.

Aksi yang digelar di depan Polda Bali dan Kantor DPRD Bali itu awalnya berlangsung damai. Mahasiswa, aktivis, hingga komunitas sipil bergabung dalam barisan. Bali, yang selama ini dikenal dengan kultur protes yang relatif “soft”, mendadak berubah tegang. Bukan hanya karena sorakan massa, tetapi juga karena gesekan dengan aparat yang dianggap terlalu agresif.
Seorang saksi mata, akademisi Iskar Jamal, SIP, MAP, mengungkapkan bahwa ia melihat langsung bagaimana seorang perempuan yang sedang merekam aksi aparat justru mendapat perlakuan tidak pantas.

“Perempuan itu hanya berteriak, ‘jangan tangkap, jangan tangkap’. Dia tidak menyerang, hanya merekam. Tapi malah dipaksa menghapus video. Itu kan bentuk intimidasi. Hape adalah privasi,” ujarnya.
Iskar menambahkan, tekanan semacam ini merusak mental masyarakat yang seharusnya bebas bersuara. “Kita merasa ini bukan negara demokrasi lagi. Kalau rakyat hanya rekam lalu ditekan, seolah-olah aparat bekerja bukan untuk rakyat, tapi melindungi kepentingan oligarki,” katanya dengan nada geram.
Menurutnya, aparat juga sempat melakukan sentuhan fisik terhadap perempuan tersebut. “Itu langsung membuat kami di lapangan sakit hati. Rakyat jadi merasa tidak ada ruang untuk merekam, padahal itu hak publik,” tambahnya.

Secara hukum, hak masyarakat untuk berdemonstrasi telah dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) dan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Aturan tersebut menegaskan, setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat secara damai, tertib, dan tanpa rasa takut.
Sebaliknya, aparat diwajibkan mengamankan jalannya demonstrasi, menjaga netralitas, mengatur lalu lintas, hingga menjadi mediator antara massa dan pihak yang dituju. Fungsi aparat bukanlah membungkam aspirasi, apalagi merampas privasi warga. Bahkan dalam KUHAP, penyitaan barang pribadi seperti telepon genggam hanya bisa dilakukan melalui prosedur resmi dengan surat perintah penyitaan. Pemaksaan penghapusan file, terlebih dilakukan di ruang publik, jelas tidak memiliki dasar hukum.

Peristiwa ini sontak memantik kritik dari kalangan akademisi dan masyarakat sipil Bali. Mereka menilai dugaan pemaksaan penghapusan rekaman bukan hanya sekadar tindakan sewenang-wenang, tetapi juga pukulan telak bagi demokrasi.
“Jangan ada intimidasi terhadap warga yang sedang menggunakan hak konstitusionalnya. Kalau tindakan semacam ini dibiarkan, masyarakat akan semakin kehilangan kepercayaan,” tegas Iskar.

Bagi para demonstran, rekaman video bukan sekadar dokumentasi, melainkan bukti atas apa yang terjadi di lapangan. Tekanan untuk menghapusnya dianggap sebagai upaya membungkam narasi lain di luar versi resmi.
Aksi solidaritas untuk Affan Kurniawan di Bali pada akhirnya menyisakan pertanyaan lebih besar: apakah suara rakyat masih punya tempat aman di ruang publik?

Di tengah tuntutan keadilan, intimidasi yang dialami seorang perempuan dengan ponsel di tangannya menjadi simbol betapa rapuhnya ruang demokrasi. Publik pun menuntut agar aparat kembali pada tugas utamanya, melindungi rakyat, bukan menakutinya.

Praktisi hukum I Made Somya Putra, SH, MH, menegaskan bahwa tindakan aparat yang merampas atau memaksa seseorang menghapus rekaman di telepon genggam tanpa prosedur yang sah jelas melanggar hukum dan HAM.
“Merampas handphone atau memaksa menghapus rekaman hanya karena ketakutan terhadap penyampaian aspirasi adalah tindakan sewenang-wenang. Itu melanggar hak asasi manusia dan membatasi kebebasan berekspresi,” ujar Somya.
Ia menambahkan, dokumentasi masyarakat dalam sebuah aksi justru bisa menjadi barang bukti penting, baik jika terjadi kekerasan terhadap warga maupun aparat. “Kalau peristiwa itu dipaksa dihapus, masyarakat bisa curiga jangan-jangan memang ada pelanggaran yang ingin ditutupi,” katanya.

Menurut Somya, tindakan aparat yang tidak melalui prosedur hukum bukanlah cerminan penegakan hukum, melainkan praktik kesewenang-wenangan. “Hal semacam ini hanya akan menambah ketidakpercayaan publik terhadap institusi hukum. Dan itu tentu berbahaya bagi demokrasi kita,” tegasnya. (Ray)

https://shorturl.fm/9pjtW
30 Agustus 2025 3:04 PM