Pasikian atau Penguasaan? Putu Artha Sebut MDA Bajak Otonomi Desa Adat
- account_circle Ray
- calendar_month Kam, 17 Jul 2025

I Gusti Putu Artha, Tokoh masyarakat / Politikus.
DENPASAR – Kritik keras datang dari tokoh Bali sekaligus politikus, I Gusti Putu Artha, S.P., M.Si., terhadap eksistensi dan kewenangan Majelis Desa Adat (MDA) yang belakangan ini menjadi sorotan publik. Dalam pandangannya yang tegas dan tajam, Putu Artha menyebut bahwa AD/ART MDA secara terang-terangan telah melanggar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, dan bahkan secara sistematis melakukan apa yang ia sebut sebagai “pembajakan” terhadap hak otonomi Desa Adat.
Sebagai mantan regulator dan ahli di bidang hukum pemilu, Putu Artha mengaku tidak tinggal diam. Ia menyatakan bahwa setelah mencermati secara mendalam fakta-fakta hukum dan regulasi terkait, ia menemukan inkonsistensi serius dan potensi pelanggaran asas hukum yang fatal dalam struktur dan mekanisme kerja MDA saat ini.

“AD/ART MDA dalam Pasal 49 mengatur bahwa Desa Adat menyerahkan sebagian kewenangannya kepada MDA. Ini bukan sekadar formalitas administratif, ini adalah tindakan yang secara langsung melanggar prinsip otonomi Desa Adat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Perda 4/2019,” ujar Putu Artha dengan tegas.
Ia menekankan bahwa berdasarkan regulasi resmi, MDA seharusnya hanya merupakan “pasikian” (Persatuan) atau forum komunikasi antardesa adat, bukan lembaga struktural yang berdiri di atas dan memiliki kewenangan mengatur ataupun mengintervensi rumah tangga Desa Adat. Apalagi jika MDA beroperasi seolah-olah sebagai lembaga superbody yang memiliki kuasa menentukan, mengatur, dan mengintervensi hal-hal substantif di dalam wilayah adat, seperti pemilihan bendesa adat, perarem, hingga distribusi dana.

“MDA saat ini bukan lagi pasikian, melainkan sudah menjelma jadi lembaga otoriter yang berdiri di atas desa adat. Ini pengkhianatan terhadap semangat kelahiran Perda Desa Adat,” kata Putu Artha.
Lebih lanjut, ia mengungkap bahwa deklarasi penyerahan kewenangan oleh 128 perwakilan desa adat dalam forum Paruman Agung 2019 tidak dapat menjadi dasar legal pelimpahan wewenang, apalagi mengingat Bali memiliki lebih dari 1.500 desa adat. Ia menyebut proses tersebut sebagai “licik dan sistematis”, yang mengelabui para bendesa dengan redaksi halus dalam AD/ART MDA.

“Siapa yang memberi mandat pada mereka untuk menyerahkan kewenangan desa adat? Apakah mereka sudah bertanya pada krama adatnya? Ini manipulasi konstitusional tingkat desa adat!” tegasnya.
Ia juga mengkritik Pasal 50 AD/ART MDA yang melegalkan kewajiban desa adat untuk menaati keputusan MDA, sebagai bentuk tekanan yang menindas dan menyimpang dari prinsip partisipatif yang hidup dalam adat Bali.

Putu Artha pun mengingatkan bahwa secara yuridis, AD/ART MDA telah melanggar asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, yang artinya aturan yang lebih rendah tak bisa bertentangan dengan aturan di atasnya. Dalam konteks ini, AD/ART MDA tidak boleh bertentangan dengan Perda yang menjadi hukum tingkat daerah tertinggi.
Mendesak Perombakan AD/ART dan Pemulihan Fungsi Asli MDA
Sebagai solusi, Putu Artha mendesak agar segera dilakukan Paruman Agung Luar Biasa untuk merombak total AD/ART MDA, dan mengembalikan roh MDA sebagai pasikian, bukan lembaga eksekutif yang mengontrol desa adat.
“Sudah saatnya kita menyelamatkan marwah desa adat Bali. Jangan biarkan lembaga struktural mencederai nilai-nilai luhur yang diwariskan leluhur,” pungkasnya.
Ia juga menyambut pendapat yang berbeda, namun menggarisbawahi bahwa perdebatan harus dilakukan dengan nalar hukum, bukan nyinyiran personal.
“Saya terbuka terhadap perbedaan pendapat. Tapi mari kita berdiskusi dengan basis hukum dan nalar sehat, bukan dengan tuduhan dan sinisme tanpa dasar,” tutupnya. (Ray)
Catatan Redaksi : Pernyataan Putu Artha ini membuka ruang refleksi mendalam atas eksistensi MDA dan masa depan otonomi Desa Adat Bali. Apakah benar lembaga yang dibentuk untuk menjaga adat kini malah menjadi penindasnya?

51e646
31 Agustus 2025 7:30 AM