Pasal Karet UU Tipikor Dinilai Berbahaya, Jualan Pecel Lele di Trotoar Bisa Kena Jerat Korupsi
- account_circle Admin
- calendar_month Ming, 22 Jun 2025

Mantan Wakil Ketua KPK periode 2007-2009 Chandra Hamzah.
DENPASAR – Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) kembali menuai sorotan tajam. Dalam sidang uji materi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor di Mahkamah Konstitusi (MK), ahli hukum sekaligus mantan Wakil Ketua KPK, Chandra M. Hamzah, menyampaikan bahwa ketentuan dalam pasal tersebut sangat rawan disalahgunakan. Ironisnya, menurut Chandra, bahkan pedagang kaki lima seperti penjual pecel lele di trotoar bisa dianggap melakukan tindak pidana korupsi.
“Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, maka penjual pecel lele di trotoar juga dapat dikenakan sanksi tersebut,” ujar Chandra dalam sidang perkara Nomor 142/PUU-XXII/2024 di MK, Rabu (18/6). Pernyataan itu menggarisbawahi betapa luas dan lenturnya tafsir dari pasal yang menyebutkan “setiap orang” bisa dijerat bila melakukan pelanggaran hukum yang merugikan keuangan negara.
Chandra menjelaskan, berdagang di trotoar merupakan pelanggaran hukum karena fasilitas itu diperuntukkan bagi pejalan kaki. Jika digunakan untuk berjualan, bisa dikategorikan sebagai tindakan yang merusak fasilitas negara dan menyebabkan kerugian negara.
“Penjual pecel lele bisa saja dinilai memperkaya diri sendiri secara melawan hukum dengan menggunakan fasilitas negara, sehingga dapat dipidana sebagai pelaku korupsi,” lanjut Chandra. Ia menilai rumusan tersebut berbahaya karena mengaburkan batas antara pelanggaran administratif dengan tindak pidana berat seperti korupsi.
Lebih lanjut, Chandra menegaskan perlunya revisi terhadap dua pasal tersebut karena bertentangan dengan asas lex certa (kepastian hukum) dan lex stricta (larangan analogi dalam hukum pidana). Ia mengusulkan frasa “setiap orang” diganti menjadi “pegawai negeri” atau “penyelenggara negara”, sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi yang ditujukan untuk mereka yang menyalahgunakan kekuasaan.
Selain itu, ia juga merekomendasikan penghapusan frasa “yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara” karena dinilai terlalu luas dan multitafsir. Hal itu dinilainya tidak sejalan dengan Article 19 dari Konvensi PBB Anti-Korupsi (UNCAC).
Sidang MK itu juga menghadirkan Amien Sunaryadi, mantan Wakil Ketua KPK periode 2003-2007, yang memberikan keterangan sebagai ahli keuangan. Ia mengungkap bahwa praktik korupsi paling umum di Indonesia adalah suap, namun penegak hukum justru lebih fokus pada kasus-kasus yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara.
“Cara kerja aparat hukum saat ini tidak akan membuat Indonesia bebas korupsi. Yang paling marak adalah suap, tetapi yang terus diburu justru perkara yang dianggap merugikan keuangan negara,” tegas Amien.
Keterangan dari kedua mantan pimpinan KPK ini memperkuat urgensi untuk merevisi pasal-pasal karet dalam UU Tipikor. Mereka memperingatkan bahwa bila tidak segera diperbaiki, hukum pidana korupsi berpotensi menjadi alat pembungkaman yang semena-mena terhadap siapa pun, bahkan terhadap rakyat kecil yang sekadar berusaha bertahan hidup di trotoar. (Ray)
————
Catatan: Berita ini disusun berdasarkan keterangan resmi sidang Mahkamah Konstitusi sebagaimana termuat dalam laman resmi MK dan laporan uji materi UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.
Saat ini belum ada komentar