Ratu yang Dilahirkan dari Solidaritas, Bukan Takdir
- account_circle Ray
- calendar_month Sen, 30 Jun 2025

DENPASAR – Ketika sang ratu lebah mati, koloni tak gentar, tak gaduh. Mereka tidak menengadah menanti mukjizat, tak menjerit mencari penyelamat. Seperti pepatah lama, “Di kala badai datang, burung gagak bersembunyi, tapi lebah membuat rumah baru.”
Dengan naluri kolektif yang jernih dan kekuatan persatuan yang mendarah daging, para lebah pekerja segera mengambil keputusan bersama mereka memilih larva biasa, anak kecil dari rahim yang sama, bukan karena darah biru, tetapi karena keyakinan bahwa setiap larva punya potensi jadi pemimpin jika didukung dan dipelihara.
Larva itu lalu diberi royal jelly, makanan yang tak sembarang lebah cicipi. Di sinilah nasib dibentuk, bukan diwariskan. Dari zat yang penuh protein dan enzim, tubuhnya mulai berubah.
Seperti pepatah bijak, “Jangan nilai pohon dari bijinya, tapi dari air dan tangan yang menyiramnya.” Dalam hitungan hari, ia berkembang pesat: ovarium tumbuh aktif, tubuh membesar, dan usianya bisa melampaui para pekerja dua puluh kali lipat. Ini bukan sihir, ini adalah hasil cinta kolektif dan dedikasi.
Yang mengejutkan, sang calon ratu justru tak lagi bekerja mengumpulkan madu atau menjaga sarang. Ia tak lagi menjadi roda penggerak, tapi menjadi pusat kehidupan. Ia dilahirkan bukan untuk menindas, tapi untuk melahirkan dan merawat generasi. Sebab dalam dunia lebah, kekuasaan bukan soal perintah, tapi soal pelayanan.
“Pemimpin sejati bukan yang paling tinggi duduknya, tapi yang paling besar tanggung jawabnya.”
Di sarang lebah, takdir bukan perkara genetik atau hak waris. Tak ada takhta yang disiapkan sejak lahir. Ratu muncul dari krisis, dari lubang ketiadaan. Justru di tengah kehilangan, harapan disulam bersama. Koloni tak mengandalkan langit, tapi merapatkan barisan.
Seperti pepatah Bugis, “Resopa temmangingi namalomo naletei pammase dewata” artinya usaha keras yang sungguh-sungguh baru pantas mendapat berkah Tuhan.
Maka dari lebah kita belajar, pemimpin bukanlah mereka yang ditentukan sejak dalam buaian, tapi mereka yang dibentuk oleh kepercayaan, pengorbanan, dan cinta masyarakatnya.
Bila lebah bisa melahirkan ratu dari krisis, mengapa manusia terlalu sering menyerah pada garis nasib? Bukankah dalam setiap diri, ada potensi ratu, asal diberi kesempatan dan perhatian yang sama? (Ray)
Saat ini belum ada komentar