Connect with us

Pariwisata dan Budaya

Smart Spending a la BestHostels Indonesia, Alternatif Liburan Maksimal dengan Biaya Minimal

Published

on


Menginap di hostel bisa memperluas pergaulan

GatraDewata | Denpasar | Pandemi Covid-19 yang tengah melanda dunia memberi banyak dampak bagi perekonomian Indonesia. Daya beli masyarakat terhadap hal-hal yang bersifat tersier cenderung menurun, termasuk untuk liburan. Namun di satu sisi, hal ini tidak menyurutkan minat generasi muda untuk berlibur dengan budget minim. Menyikapi peluang ini, BestHostels Indonesia memberi solusi liburan ramah biaya dengan prinsip ‘Smart Spending’.

Berawal di Bali pada akhir tahun 2018, BestHostels Indonesia terbentuk sebagai platform pemesanan hostel dan akomodasi sharing pertama di Indonesia. Perusahaan rintisan ini dibentuk oleh Rahmadi Aditya Putra sebagai Founder, bersama pemuda asli Bali, I Made Bayu Hadi Irawan sebagai Co-Founder sekaligus Head IT dan Developer. Dua anak bangsa yang bermisi untuk memberikan solusi untuk masyarakat lokal dalam meningkatkan pariwisata melalui ‘low budget traveling’ ini bersama – sama mengem-bangkan situs dan aplikasi seluler yang menyediakan berbagai produk dan layanan wisata untuk memenuhi kebutuhan traveler dengan budget minimalis, terutama Gen Z dan Millennial. Dengan aplikasi tersebut, Bestpackers – sebutan untuk pengguna layanan BestHostels, cukup merogoh kocek mulai Rp 50.000 per malam untuk menginap di hostel.

Beshostels, satu – satunya platform pemesanan hostel di Indonesia

Menginap di hostel atau dormitory menjadi alternatif bagi mereka yang lebih mengutamakan pengalaman berlibur dan petualangan daripada menghabiskan anggaran untuk akomodasi. Meskipun biaya menginap di hostel relatif terjangkau, namun value yang didapatkan cukup besar. Backpackers dapat menikmati berbagai fasilitas bersama seperti dapur, ruang makan, ruang rekreasi, hingga coworking space dan kolam renang. Karena biayanya yang jauh lebih terangkau inilah Backpackers dapat mengalokasikan anggaran liburannya untuk menjelajah destinasi tujuannya, mengunjungi atraksi wisata dan aktivitas lainnya. Dengan misi untuk menjadi one-stop-booking-platform bagi para backpackers tanah air, BestHostels Indonesia telah menyediakan layanan pemesanan shuttle boat antar pulau bali dan pulau sekelilingnya, airport transfer dari bandara Ngurah Rai ke penginapan, dan aktivitas wisata seperti atraksi, workshop, theme park, aktivitas museum, semuanya ada di dalam fitur ‘eXplore’.

Selain fasilitas dan layanan yang disediakan, yang menjadi ciri khas dari menginap di hostel adalah kesempatan untuk berinteraksi dengan traveler lain. Backpackers dapat menambah relasi serta saling berbagi cerita dan pengalaman dengan traveler yang memiliki berbagai latar belakang budaya. Backpackers yang ingin berlibur dengan teman – teman dan menginap bersama di hostel juga dapat memanfaatkan layanan Group Booking. Cukup dengan menginformasikan tanggal perjalanan, jumlah tamu, destinasi, budget dan layanan apa saja yang diperlukan selama perjalanan, tim kami akan memberikan rekomendasi yang dipersonalisasikan berdasarkan preferensi yang diberikan.

Suasana di kamar hostel yang penuh kehangatan

Banyak interaksi bukan berarti tanpa privasi. Walaupun kebanyakan fasilitasnya digunakan bersama, Backpackers tetap dapat menjaga privasinya saat menginap. Umumnya, tempat tidur susun di kamar dormitory dilengkapi dengan tirai, penyekat maupun pintu, untuk menjaga privasi dari para traveler yang menginap di kamar yang sama. Bentuk dan desain akomodasi sharing ini juga telah banyak berkembang di beberapa tempat, yang ditandai dengan munculnya hostel kapsul dan pod. Adanya aturan protokol kesehatan dan social distancing tetap memungkinkan hostel untuk terus beroperasi, tentunya dengan prosedur yang harus dipatuhi. Seluruh partner BestHostels Indonesia sudah terdaftar sebagai Clean and Safe Partner, di mana mereka telah memiliki sertifikasi CHSE dari pemerintah.

Dengan biaya yang terjangkau ini, hostel sangatlah cocok untuk liburan jangka pendek, staycation, transit, maupun long stay. Tak heran, akomodasi tipe ini tak hanya ditemui di daerah wisata tapi juga di dekat bandara. Di beberapa kota besar seperti Jakarta, hostel justru sering dimanfaatkan oleh para pekerja komuter untuk beristirahat karena dianggap lebih efisien dibandingkan harus menempuh perjalanan pulang-pergi. Backpackers yang ingin tinggal lebih lama di suatu daerah juga dapat menyewa hostel secara mingguan atau bulanan. BestHostels Indonesia sendiri juga telah memperkenalkan tren terbaru ‘Work From Hostel’ yang memberikan pengalaman kerja sambil liburan dengan biaya lebih terjangkau.

Hostel umumnya merupakan usaha kecil milik pribadi, yang dikelola oleh orang lokal di mana hostel itu berada. Dengan menginap di hostel, Backpackers sudah turut mendukung roda perekonomian pengusaha lokal, yang tentunya berkontribusi untuk pemulihan pariwisata Indonesia.

Belanjakan uang Anda lebih banyak untuk berpetualang

“BestHostels Indonesia terus berkembang dengan misi untuk menjadi solusi petualangan tanpa batas yang ramah biaya. Langkah kecil ini dimulai dengan mengubah mindset masyarakat terutama Gen Z dan millennial, kalau liburan tidak harus mahal. Dengan prinsip ‘smart spending’, biaya akomodasi bisa lebih terjangkau sehingga pengalaman liburan bisa tetap maksimal meski dengan biaya minimal,” papar Rahmadi Aditya Putra, CEO dan Founder BestHostels Indonesia.

Kehadiran BestHostels Indonesia sebagai platform karya anak bangsa diharapkan bukan hanya membantu para traveler, tapi juga pemilik hostel dan pelaku usaha pariwisata lokal. Melihat potensi kedepannya, BestHostels Indonesia berencana mengembangkan layanannya untuk akomodasi low budget lain seperti guesthouse, homestay dan juga desa wisata. Kunjungan wisatawan lokal ke hostel akan membantu menghidupkan kembali usaha hostel dan akomodasi low budget lainnya yang sempat macet akibat pandemi. Sebagai efek domino, naiknya permintaan menginap ini akan kembali menggerakan perekonomian Indonesia, khususnya industri pariwisata.[PR-SWN]


Pariwisata dan Budaya

I Gede Sujana, Arsitek Inovasi Budaya & Kemewahan di Royal Ambarrukmo Yogyakarta

Published

on

By

YogyakartaRoyal Ambarrukmo Yogyakarta, hotel ikonik yang melekat dengan sejarah dan budaya Jawa, terus menciptakan terobosan di dunia perhotelan mewah. Di tengah transformasi fasilitas dan penyempurnaan layanan, Royal Ambarrukmo kini juga memperkuat peran sosialnya melalui berbagai inisiatif berkelanjutan.

Salah satu program unggulannya adalah tukar sampah dengan pangan sehat, yang menjadi bukti nyata komitmen hotel dalam mendukung pengelolaan sampah dan pemberdayaan masyarakat lokal. Inovasi-inovasi ini hadir berkat kepemimpinan inspiratif dari I Gede Sujana, General Manager yang resmi menjabat sejak April 2025.

 

Jejak Karier Penuh Dedikasi

Lahir di Bali, I Gede Sujana memiliki rekam jejak panjang di industri perhotelan. Karier manajerialnya dimulai sebagai General Manager Fairfield by Marriott Belitung pada 2016, dilanjutkan ke Four Points by Sheraton Makassar pada 2018, hingga memimpin Sheraton Mustika Yogyakarta Resort & Spa pada 2022. Kini, ia memegang kendali di Royal Ambarrukmo Yogyakarta dengan visi menyelaraskan kemewahan dan kearifan lokal.

 

Harmoni Kemewahan dan Budaya

Di bawah arahannya, Royal Ambarrukmo Yogyakarta tampil sebagai rumah kedua bagi para tamu, menggabungkan sentuhan modern dengan kekayaan budaya Jawa yang autentik. Bagi Sujana, hospitality bukan sekadar layanan, tapi seni menghadirkan pengalaman yang menyentuh — dari arsitektur, kuliner tradisional, keramahan staf, hingga nilai budaya yang hidup dalam setiap sudut hotel.

 

Bergerak Bersama Komunitas

Komitmen terhadap Sustainable Development Goals menjadi prioritas Sujana dalam menjalankan strategi hotel. Dengan menggandeng komunitas lokal, Royal Ambarrukmo memperkuat peran industri perhotelan sebagai penggerak pariwisata yang inklusif dan ramah lingkungan.

 

Kepemimpinan yang Membumi dan Visioner

Tak hanya memimpin operasional harian, Sujana juga membangun budaya kerja yang kolaboratif, inovatif, dan berbasis pembelajaran berkelanjutan. Di tangannya, Royal Ambarrukmo tidak hanya mempertahankan standar tinggi layanan, tetapi juga memperkuat posisinya sebagai simbol hidup dari kemewahan yang berpadu dengan warisan budaya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Royal Ambarrukmo Yogyakarta di (0274) 488 488, kunjungi Instagram @royalambarrukmo, atau akses situs resminya di www.royalambarrukmo.com.

 

“Kembali ke Jantung Budaya, Menginaplah di Legenda.”

#RoyalAmbarrukmo #LivingLegend #LuxuryMeetsCulture

Continue Reading

Pariwisata dan Budaya

Investasi Ilegal WNA Rugikan Bali, Dr. Panudiana Kuhn Desak Penertiban Menyeluruh

Published

on

By

Dr. Panudiana Kuhn, Ketua Pembina Apindo Bali

DENPASAR — Fenomena pelanggaran hukum yang dilakukan warga negara asing (WNA) di sektor pariwisata Bali menuai sorotan tajam dari Dr. Panudiana Kuhn, Ketua Pembina Apindo Bali sekaligus pengusaha senior yang lama bergelut di industri lokal. Ia menilai praktik-praktik bisnis gelap yang kian marak bukan hanya menggerus pendapatan pajak daerah, tetapi juga mengancam kelangsungan usaha milik warga lokal.

Menurut Dr. Kuhn, modus operandi yang kerap terjadi adalah penyewaan vila oleh WNA yang kemudian kembali disewakan kepada sesama WNA secara diam-diam dari luar negeri, tanpa jejak administratif, tanpa izin usaha, dan tentu tanpa kontribusi pajak. Lebih lanjut, ia mengungkap bahwa banyak transaksi jual beli properti dilakukan menggunakan mata uang asing dan dibayarkan di luar negeri—sebuah pelanggaran serius yang luput dari pantauan otoritas.

“Ironisnya, pemerintah Bali bahkan tidak memiliki data pasti soal jumlah vila yang disewakan tiap tahun, padahal pungutan keamanan dari pecalang terus berjalan,” ujarnya.

Ia menyerukan agar aparat pemerintah, mulai dari dinas hingga imigrasi dan kepolisian, tidak hanya menunggu laporan masyarakat, tetapi aktif melakukan inspeksi ke lapangan. Setiap usaha ilegal harus ditindak tegas—dengan jalan legalisasi melalui SIUP dan NPWP, atau penutupan permanen.

“Persaingan bisnis saat ini tidak sehat. Warga lokal terdesak oleh kekuatan modal asing yang tidak bermain sesuai aturan. Ini harus dihentikan,” tegasnya.

Kuhn juga menyoroti ketidakjelasan implementasi program Golden Visa 10 tahun yang memungkinkan WNA memiliki vila senilai miliaran rupiah serta hak pakai tanah hingga 80 tahun. Ia menilai regulasi yang longgar membuat konflik antara pemodal besar dan pemilik lokal semakin sering terjadi.

“Bila Bali ingin tetap menjadi destinasi wisata yang berkelanjutan dan adil, maka penegakan hukum terhadap bisnis ilegal WNA bukan lagi pilihan—melainkan kewajiban mendesak,” pungkasnya. (Ray)

Continue Reading

Pariwisata dan Budaya

Bayangan Gelap di Surga, Ketika Bali Kehilangan Pemasukan dari Pariwisata Ilegal

Published

on

By

BADUNG – Di balik citra glamor dan keindahan Pulau Dewata, terselip sebuah ironi yang menggerogoti perekonomian lokal. Banyak wisatawan asing datang ke Bali, namun tidak tercatat menginap di hotel atau vila resmi. Ternyata, sebagian besar dari mereka memilih akomodasi alternatif seperti vila pribadi atau rumah kos milik warga lokal yang belum memiliki izin operasional lengkap.

Tak hanya itu, marak pula praktik ilegal di mana Warga Negara Asing (WNA) menyewa vila secara daring dan menyewakannya kembali kepada kolega sesama WNA, bahkan sebelum mereka sendiri menempatinya. Aktivitas ini kerap terjadi di luar pengawasan pemerintah dan menghindari kewajiban pajak yang seharusnya dibayarkan.

Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana, Prof. Dr. Drs. I Putu Anom, B.Sc., M.Par., mengungkapkan perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap properti-properti yang disewakan kepada orang asing, baik berupa vila, rumah pribadi, maupun bentuk akomodasi lainnya.

“Pernah terjadi kasus di Seminyak di mana seorang tamu asing tinggal melebihi masa izin tinggalnya hingga menyebabkan keributan besar, bahkan menewaskan seorang anggota polisi. Mirisnya, vila tersebut ternyata tidak memiliki izin legal,” ungkap Prof. Anom saat dihubungi, Sabtu (10/5/2025).

Ia juga menyoroti keberadaan guest house mewah dan rumah kos elite yang kerap luput dari pengawasan pajak. Meskipun dimiliki oleh warga lokal, bentuk bisnis ini tak terklasifikasi sebagai akomodasi resmi, sehingga pendapatannya tidak dikenakan pajak hotel dan restoran.

“Bayangkan satu kamar disewakan seharga Rp2–3 juta. Jika ada 10 kamar, bisa menghasilkan Rp30 juta tanpa perlu promosi. Semua langsung masuk ke kantong pribadi, sementara daerah tidak memperoleh apa pun,” tegasnya.

Prof. Anom juga menyoroti praktik pembelian tanah oleh WNA yang memanfaatkan nama warga lokal sebagai perantara melalui akta notaris. Setelah membangun vila di atas tanah tersebut, mereka kemudian menyewakannya kepada turis asing lainnya. Keuntungan pun langsung dinikmati pemilik modal asing, sementara warga lokal hanya menjadi nama di atas kertas.

“Fenomena ini jelas menyebabkan potensi pajak daerah yang sangat besar tidak masuk ke kas negara,” tambahnya.

Untuk itu, ia menyarankan agar desa adat maupun desa dinas dilibatkan aktif dalam pengawasan akomodasi di wilayahnya. Karena mereka yang paling mengetahui siapa pemilik dan penyewa properti di daerah masing-masing, serta dapat melakukan pencatatan rutin untuk memastikan semua berjalan sesuai aturan.

Sebagai penutup, Prof. Anom juga menyinggung soal kebijakan Golden Visa dan retirement visa, yakni visa pensiun yang memungkinkan warga asing tinggal dalam jangka panjang di Indonesia. Menurutnya, kebijakan tersebut perlu dikaji ulang agar tidak membuka celah baru bagi penyalahgunaan izin tinggal untuk kepentingan bisnis ilegal. (Ray)

Continue Reading

Trending

Copyright © 22 Juni 2013 Gatradewata. Pesonamu Inspirasiku