Connect with us

Daerah

Menguji Militansi Perupa Militan Art

Published

on


GatraDewata[Gianyar] I Wayan Arsana merupakan seorang seniman lukis yang karya – karyanya sangat menakjubkan. Disamping itu beliau juga sensitif dengan isi – isu sosial. Untuk itulah, setelah setahun lebih dunia ini bergelut dengan situasi Covid 19 beliaupun (bersama beberapa rekan sesama seniman) buka suara, yang beliau suarakan lewat sebuah pameran bertajuk IN-Between dan berikut reaksinya secara tertulis:

Bencana global pandemi adalah ujian untuk peradaban bangsa manusia, suatu problem yang dialami, dirasakan, dan menguras energi peradaban. Seluruh modal sosial bahkan spiritual dipertaruhkan guna memitigasi dampak infeksi dari “monster gaib”, Virus Corona, Covid-19, namun kondisi chaos toh tak terhindarkan.

Kegamangan, keraguan, kebenaran, konspirasi, dan kuasa alam ihwal adanya Covid-19 campur aduk dengan ragam reaksi, solidaritas global, bajingan ekonomi, keprihatinan dan nafsu korup; dunia dilanda duka kemanusiaan.

Kebijakan mitigasi bencana sifatnya reaktif, insidensial dan ambigu. Status darurat kesehatan seperti lockdown dan aneka pembatasan sosial, social distancing serta protokol kesehatan ada di antara wacana, budgeting, penerapan maupun pengingkaran yang berbuah kontroversi. Suatu kondisi parallel, sama di seluruh domain sektor kehidupan, tanda instrumen, tools pengetahuan dan keterampilan modernitas tidak lagi memadai, tak aflikabel, bahkan literasi tradisional soal vaksin tidak memungkinkan jadi rujukan akibat desakan kebutuhan yang sifatnya emergensi. Nalar politik sulit dicerna, antara kebijakan politik dan politik kebijakan soal pandemi sulit dipahami.

Kini momok pandemi masih menghantui, bahkan bermutasi menjadi berbagai varian baru, bermutasi pula kontroversi yang ditimbulkan.

Kelumpuhan sosial yang berkepanjangan membuat psikologi sosial menjadi lelah, dorman dan kegamangan yang berada diambang batas. Ketika protokol kesehatan adalah sebuah komoditas, yang tumbuh adalah sikap permisif dan pembangkangan sosial tak terhindarkan.

Abad digital dinamikanya sama, antara memberi manfaat dan memperkeruh keadaan, antara informasi dan ngibul sama sensasinya, perlombaan followers, like, viral yang latah dan stereotip, konten-konten absurd bermunculan tak membutuhkan portofolio, yang ada hanya aturan tak resmi bernama algoritma. Algoritma, sederhananya adalah pertalian data konten dan tujuan. Implikasi maslahat dunia digital pastinya juga layak, abad digital melengkapi tools kehidupan menjadi double application, yang manual dan virtual.

Dalam dimensi spiritual, sebetulnya secara indikatif sudah tersirat dalam wijaksara Bali, “windu” atau bulatan, sebagai unsur penting dalam aksara simbol Ongkara. Windu, “nge-windu” menjadi bulatan, dalam konteks pemaknaan kodifikasi esoteris, sebagai lambang pembauran sistem yang sifatnya random dari elemen-elemen yang berlawanan maupun berpasangan, rwa bhineda, adwaita, dalam satu kehadiran saat ini atau real time. Nge-windu adalah waktu kosmik peradaban. Berbeda dengan arda candra yang menggambarkan sifat modernis peradaban yang mainstream dan linear. Kenormalan baru yang sifatnya menyeluruh adalah tanda fundamental peradaban sedang mengalami perubahan.

Seni rupa sama saja, parallel, art world persenirupaan saat ini menyediakan kemungkinan yang tak terbatas, inilah model baru dari booming dunia visual. Seni rupa telah menjadi domain publik, semua serba mungkin, praktek dan produk seni layersnya banyak, seni komuditas, seni kelas menengah, hingga seni yang kontestatif dan memiliki konten nilai. Semua halal dalam keserbahadiran, yang menentukan adalah konektivitas domain sadar perupa dalam suatu frekuensi kreatif dan kompleksitas layers.

Menjadi bagian dari persoalan yang ada, kelompok perupa militant Art tergugah untuk bereaksi terhadap persoalan yang ada, dengan menggelar pameran bersama bertajuk, “IN-Between”. Frasa IN-Between bermakna ada diantara, sementara penekanan huruf kapital pada penggalan frasa IN dimaksudkan sebagai kunci pemaknaan tematika, IN adalah konten personal para perupa Militant Art. IN-Between dalam kesatuan tematika sebenarnya menggambarkan subjek yang mengalami, menjadi bagian dari situasi kompleks, mengelaborasi persoalan dalam frekuensi kreatif, serta mengejawantahkan dalam kekaryaan.

Perupa Militant Art tentu punya modal kreatif yang cukup, napas panjang berkesenian yang telah diuji oleh waktu, dan yang utama adalah keberanian membuat pilihan mengikrarkan “ jihad kesenian” dengan mengadaptasi kata militan sebagai payung spirit berkelompok. Nilai militan melekat pada sistem sadar kreatif, sikap, proses dan karya, militan artinya hidup dengan suatu nilai, suatu sikap yang makin langka di tengah nyinyir pragmatisme sempit sekarang ini. Militant Art bukanlah kelompok perupa yang mengusung aliran pemikiran tertentu, mereka juga tidak sedang menjebak diri dalam batasan- batasan spesifik pemikiran.

Militansi dalam berkesenian membutuhkan” nyali kreatif”. Aktualisasi spirit militan ditantang mensublimasi soal-soal yang ada, menjadi ungkapan seni yang bernilai dan spesifik. dalam IN-Between, para perupa militan menampilkan keragaman cara pandang, penyikapan, empati, gugatan mental, hingga ajakan moral ihwal bencana global pandemi. Konten masing-masing karya berisikan ungkapan dari kedalaman yang sifatnya personal, ungkapan yang mengandung intensi lebih kuat dalam keragka olah problematik maupun renungan. Ragam bahasa ungkap dan identitas estetik para perupa Militant Art adalah personalisasi dari proses dan peluh kesenian dalam waktu yang panjang.

Nilai utama pameran IN-Between terletak pada kemampuan melampaui segala kelatahan area publik dalam bereaksi terhadap bencana global pandemi, juga melampaui berbagai kelatahan dalam dunia visual, bukankah esensi militan adalah ekstrimitas dalam berproses yang galibnya membuat perbedaan dalam kekaryaan. Hanya karya-karya yang mengandung tendensi “subversi visual” yang memungkinkan mengandung implikasi mental, subversi visual adalah gugatan atau perlawanan dalam bentuk visual. Esensi subversif adalah bentuk pengejawantahan militansi berkesenian, bukan sekedar retorika atau bualan idiologis.

Algoritma tradisional seni rupa, melalui pengindraan secara langsung, karya visual justru menyentuh lebih langsung, menghasilkan efek mental secara langsung pula. Estetika bisa menjadi praktek post intelektual. Dalam kekaryaan semua konten yang mendukung sebetulnya sudah inheren, karya adalah alat bukti utama tempat melekatnya seluruh nilai, selebihnya keseluruhan aspek pendukung adalah alat peraga dalam suatu keutuhan sistem nilai.

IN-Between penekanannya utamanya pada upaya membangun solidaritas mental, menyegarkan kimiawi otak dari mental down syndrome, suatu ajakan untuk move on menuju harapan baru…!!! Para perupa yang tergabung dalam Militant Art antara lain: Diwarupa, I Nyoman Sujana Kenyem, I Ketut Putrayasa, I Ketut Suasana Kabul, Wayan Suastama, Dastra Wayan, I Gede Adi Godel, I made Wiradana, Pande Paramartha, I Gusti Buda, Romi, Agusdangap, Deko, I Made Gunawan, Lekung Sugantika, Anthok, Atmi Kristiadewi, Galung Wiratmaja , Loka suara, Ngurah Paramartha, Ketut Teja Astawa, Duatmika Made ,Dollar Astawa, Putu Bonuz, DJ Pande.[SWN]


Daerah

Polemik Harga Babi di Bali, Peternak Merugi, GUPBI Serukan Peran Pemerintah yang Lebih Aktif

Published

on

By

BADUNG – Peternakan babi di Bali, yang menjadi salah satu pilar ekonomi masyarakat lokal, kini menghadapi tantangan berat terutama karena kenaikan harga yang dinilai memberatkan berbagai pihak. Di tingkat konsumen, daging babi kini menjadi lebih sulit dijangkau oleh masyarakat menengah ke bawah, sementara di sisi lain, para peternak juga menghadapi tantangan yang tak kalah berat.

Ketua Gabungan Peternak Babi Indonesia (GUPBI), I Ketut Hari Suyasa, mengungkapkan bahwa situasi ini mempengaruhi tidak hanya keberlangsungan usaha peternakan tetapi juga kesejahteraan masyarakat yang menggantungkan hidup pada sektor ini.

Harga babi hidup di tingkat peternak yang sebelumnya di angka Rp60.000 per kilogram, kini terkoreksi menjadi Rp55.000 per kilogram. Penurunan harga ini, menurut Suyasa, bukan karena menurunnya permintaan, tetapi lebih disebabkan oleh isu-isu yang membuat peternak panik.

“Isu-isu ini sengaja dimainkan untuk menekan harga di tingkat peternak. Akibatnya, terjadi lonjakan penawaran babi yang tidak terkontrol dan menurunkan harga secara drastis,” ungkapnya, Sabtu (21/12/2024)

Keluhan ini mencerminkan betapa rentannya posisi peternak dalam rantai ekonomi babi. Meski serapan dari luar daerah, seperti Jakarta, Sulawesi, dan Kalimantan, tetap tinggi, harga di Bali justru turun.

“Psikologi pasar menjadi faktor yang sangat memengaruhi kenaikan dan penurunan harga babi. Meskipun permintaan dari luar daerah seperti Sulawesi, Jakarta, dan Kalimantan tetap tinggi, harga di tingkat peternak kok malah turun. Ini menunjukkan ada pengaruh lain yang merusak stabilitas pasar. Ada pihak yang menikmati terjadinya selisih harga ini, tapi bukan peternak,” ujar Suyasa.

Peternakan babi di Bali juga harus menghadapi risiko besar dari penyakit seperti African Swine Fever (ASF) dan penyakit mulut dan kuku (PMK). ASF, yang belum memiliki vaksin dan daya bunuhnya mencapai 100%, ini menjadi ancaman utama.

“Kalau satu kandang kena ASF, seluruh ternak bisa mati. Ini risiko yang sangat berat bagi peternak,” kata Suyasa.

Saat terjadi wabah sebelumnya, banyak peternak yang merugi besar karena harga babi anjlok di bawah harga pokok produksi. Tahun lalu, misalnya, harga babi pernah menyentuh Rp25.000 per kilogram, sementara biaya produksi mencapai Rp40.000 per kilogram.

“Peternak sudah sering mengalami kerugian besar tanpa ada perlindungan atau kompensasi dari pemerintah,” keluh Suyasa.

Kritik keras juga dilayangkan kepada pemerintah yang dinilai kurang peduli terhadap kondisi peternak babi. Menurut Suyasa, pemerintah seharusnya memberikan perlindungan dan jaminan terhadap stabilitas harga serta mendukung pengelolaan risiko.

“Peternak ini rentan terhadap isu-isu yang dimainkan pasar. Pemerintah harus hadir untuk memberikan solusi, bukan hanya sekadar mencatat keluhan tanpa tindakan,” ujarnya.

Ia juga menyoroti perlunya dibentuk suatu badan usaha daerah yang berfungsi sebagai penyeimbang pasar.

“Kami sudah berkali-kali mengusulkan pembentukan badan usaha ini, tetapi usulan tersebut hanya menjadi catatan tanpa tindak lanjut,” tambahnya.

Selain itu, proses perizinan pengiriman daging babi beku ke luar daerah yang dianggap rumit juga menjadi beban tambahan.

Ia menyatakan bahwa untuk pengiriman babi hidup, persyaratan izinnya relatif cukup mudah, seperti surat penerimaan ternak di wilayah tujuan. Namun, untuk pengiriman dalam bentuk daging beku, proses perizinan dianggap lebih rumit, yang berpotensi memunculkan praktik ilegal.

“Kalau izin sulit didapat, seharusnya pemerintah mempermudah prosesnya agar peternak kita bisa tetap bersaing di pasar luar,” tambahnya.

GUPBI siap menjadi jembatan komunikasi antara peternak, pemotong, dan pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini. Suyasa bahkan mengusulkan pembentukan suatu konsorsium yang dapat mendukung distribusi daging babi ke luar daerah agar harganya tetap stabil dan menguntungkan kepada semua pihak.

Keluhan peternak tidak hanya datang dari sisi ekonomi tetapi juga dari aspek psikologis. Ketidakpastian harga dan risiko wabah membuat banyak peternak mulai kehilangan semangat untuk melanjutkan usaha.

“Beternak babi itu sangat berisiko, tetapi tanpa jaminan harga yang layak, banyak peternak yang berpikir dua kali untuk melanjutkan usaha mereka,” kata Suyasa.

Di tengah keluhan dan beban berat ini, para peternak berharap ada langkah konkret dari pemerintah untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Stabilitas harga, dukungan untuk menghadapi risiko wabah, dan kemudahan dalam perizinan menjadi tiga hal utama yang diharapkan peternak.

“Jika pemerintah serius ingin menjadikan Bali sebagai barometer peternakan babi di Indonesia, maka perlindungan terhadap peternak harus menjadi prioritas,” pungkasnya.

Dengan kondisi seperti ini, masa depan peternakan babi di Bali membutuhkan perhatian serius dari semua pemangku kepentingan. Dibutuhkan dukungan konkret dari pemerintah dan sinergi dengan GUPBI sebagai perwakilan peternak menjadi kunci untuk memastikan keberlanjutan dari salah satu tulang punggung perekonomian masyarakat Bali ini. (E’Brv)

Continue Reading

Daerah

Pj Gubernur Bali Serahkan Sertifikat Merk ke Winie Kaori Untuk YKWA Dan Minyak Goreng

Published

on

By

DENPASAR – Penjabat (Pj.) Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya menyerahkan sejumlah Surat Pencatatan/ Sertifikat Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), Penghargaan Kerthi Bhuwana Sandhi Nugraha serta Sertifikat Standardisasi dan Sertifikasi Lembaga Seni Provinsi Bali 2024 di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Selasa, 17 Desember 2024.

Salah satunya, Ni Kadek Winie Kaori Intan Mahkota selaku Owner PT Kaori Alam Nusantara (KAN) menerima Sertifikat Merek dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali melalui Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) Provinsi Bali bekerjasama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI buat Yayasan Kaori Welas Asih (YKWA) dan produk Minyak Goreng Kaori.

Atas capaian tersebut, Winie Kaori mengucapkan terima kasih atas support Pemerintah Provinsi Bali, guna menerima Sertifikat Merek.

Disebutkan, Sertifikat Merek ini berlaku selama 10 tahun, untuk bisa melindungi Merek yang telah didaftarkan.

“Astungkara, ini bisa menjadi perlindungan untuk pengusaha yang memang menggunakan Hak Merek, supaya aman untuk bisa dipublikasikan maupun didistribusikan ke seluruh Indonesia,” kata Winie Kaori.

Oleh karena itu, lanjutnya Warga Negara Indonesia (WNI) yang sudah memiliki Usaha dan Brand diharapkan jangan takut dan jangan ragu-ragu untuk mendaftarkan Merek sebagai salah satu langkah perlindungan untuk usahanya.

Bahkan, kedepannya diharapkan, semoga nanti usaha-usaha yang dibuatkan bisa mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual, baik Hak Merek, Hak Paten dan Hak Cipta yang bisa digunakan selama 10 tahun, sejak tanggal pendaftaran.

“Terima kasih untuk Pemerintah Provinsi Bali utamanya BRIPDA Bali dan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali yang sudah memberikan fasilitas kepada kami, para UMKM untuk semangat berkarya,” pungkasnya.

Untuk itu, Pemerintah Provinsi Bali melalui Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) Provinsi Bali bekerjasama dengan Kanwil Kemenkum HAM Provinsi Bali dan sentra-sentra Kekayaan Intelektual telah memfasilitasi pendaftaran Kekayaan Intelektual masyarakat Bali.

Apalagi, Pj.Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya sangat mengapresiasi kegiatan pendaftaran sertifikat HAKI oleh masyarakat Bali, lantaran masyarakat Bali terkenal dengan adat istiadat, yang kaya akan seni budaya, tradisi dan kreativitas.

“Masyarakat Bali sangat kreatif dan edukatif dengan menghasilkan banyak hasil karya. Bahkan, saya kaget juga anak-anak yang masih usia sekolah bisa menjadi seorang inovator, itu sangat luar biasa,” terangnya.

Tak hanya itu, masyarakat Bali juga diakui sangat kreatif melalui hasil kerajinan tangan, tari-tarian tradisional hingga kuliner khas Bali yang semuanya merupakan aset berharga menjadi kebanggaan Bali, sehingga terkenal di kalangan masyarakat global.

Warisan karya cipta, seni dan tradisi berciri khas Bali perlu mendapatkan perlindungan, sehingga Pemerintah Provinsi Bali sangat mendukung perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) masyarakat Bali, baik itu dalam bentuk Hak Cipta, Hak Merek, Hak Paten dan Indikasi Geografis (IG) maupun bentuk perlindungan lainnya.

“Dengan adanya HAKI, pencipta memiliki Hak Eksklusif atas ide, inovasi atas kreasi mereka. Hal tersebut menghindari mereka dari tindakan plagiat atau penggunaan karya tanpa izin, sehingga mereka bisa aman untuk terus berkarya,” paparnya.

Disebutkan, dalam kurun waktu 2019-2024, Pemerintah telah menerbitkan 425 sertifikat yang terdiri dari Kekayaan Intelektual Kepemilikan Komunal sebanyak 36 sertifikat terdiri dari 20 Sertifikat Ekspresi Budaya Tradisional (EBT), 11 Sertifikat Indikasi Geografis (IG), 3 Sertifikat Pengetahuan Tradisional (PT) dan 2 Sertifikat Sumber Daya Genetik (SDG).

“Selain itu, Kekayaan Intelektual Kepemilikan Personal sebanyak 389 sertifikat, terdiri dari 291 Sertifikat Hak Cipta, 3 Sertifikat Hak Paten dan 95 Sertifikat Hak Merek,” kata Mahendra Jaya. (*).

Continue Reading

Daerah

Kepala Desa di Luwu Diminta Setor Rp4,5 Juta untuk Bimtek Stunting, Publik Pertanyakan Transparansi

Published

on

By

LUWU – Pelaksanaan Bimbingan Teknis (Bimtek) bertema Percepatan Penurunan Stunting Desa se-Kabupaten Luwu Tahun 2024 menuai kontroversi. Program ini yang dikelola oleh PT Putri Dewani Mandiri atas persetujuan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Luwu, membebankan biaya Rp.4,5 juta per desa.

Ketua Forum Pemerhati Pemerintahan Desa dan Kelurahan (FP2KEL), Ismail Ishak, mengkritisi kebijakan tersebut. “Biaya yang dihimpun dari 207 desa mencapai ratusan juta rupiah. Namun, efektivitas kegiatan ini diragukan karena banyak prioritas lain yang lebih mendesak untuk desa,” ujar Ismail. Ia juga menyebut kegiatan ini tidak sesuai dengan amanat Peraturan Desa Nomor 13 Tahun 2023 yang mengutamakan intervensi berbasis kebutuhan lokal.

Kritik ini diperkuat oleh beredarnya surat undangan bertanggal 5 Desember 2024, yang meminta setiap desa menyetorkan dana Rp4,5 juta melalui rekening PT Putri Dewani Mandiri. Namun, pihak penyelenggara membantah isu tersebut.

“Biaya ini tidak besar jika dibagi per peserta. Lima orang dari setiap desa mengikuti Bimtek, artinya rata-rata hanya Rp900 ribu per peserta. Ini investasi untuk pemahaman mereka terkait program stunting,” ujar Andi Hamzah, Bendahara PT Putri Dewani Mandiri.

Meski demikian, transparansi penggunaan anggaran menjadi sorotan. Beberapa kepala desa mempertanyakan apakah biaya tersebut sejalan dengan manfaat yang diperoleh.

DPMD Luwu Bungkam
Hingga berita ini diturunkan, Kepala DPMD Luwu, Kasmaruddin, belum memberikan pernyataan resmi terkait tudingan publik. Pelaksanaan Bimtek ini dijadwalkan berlangsung pada 13–17 Desember 2024 di Aula Bappeda Luwu dan Kota Palopo.

Tantangan Penurunan Stunting
Luwu memiliki 207 desa yang terlibat dalam program ini. Penurunan angka stunting memang menjadi prioritas nasional, tetapi pengalokasian dana desa untuk Bimtek dinilai kurang tepat. Beberapa pihak mendesak agar kegiatan seperti ini diselaraskan dengan kebutuhan lokal dan difokuskan pada solusi konkret di lapangan.

Program ini kini menjadi ujian bagi pemerintah daerah untuk menjawab kritik publik, memastikan akuntabilitas, dan membangun kepercayaan masyarakat terhadap penggunaan anggaran desa. (SRF/red)

Continue Reading

Trending

Copyright © 22 Juni 2013 Gatradewata. Pesonamu Inspirasiku