Hukum
KPPAD Impressed Slow, Kiel: It’s Clearly Violated Children’s Rights
DENPASAR – A father’s struggle to find a father figure for his child has been hampered by steep paths. Regarding the court decision he told that custody rights were never given by his ex-wife.
Paul La Fontaine always visits the Regional Commission for the Protection of Women and Children (KPPAD) office in Denpasar, Friday (10/03/2023). He was present with his attorney Hezkiel Paat (Kiel) from the Paat & Paar Law Firm. However, the chairman of the KPPAD was not present so it had to be rescheduled for next Monday (13/03/2023).
Paul’s struggle has been going on for quite a long time, his feelings of longing for his baby, make him teary eyed every time he talks about his two children.
The struggle from the Indonesian Child Protection Commission (KPAI) to KPPAD has already been overcome, but the struggle seemed so slow, it seemed to be standing still, when giving statements to the media crew at coffee shops around Denpasar.
Paul recounted the beginning of his meeting with his ex-wife, who first met in Hong Kong, not in Indonesia. He also praised his ex-wife when he met her, thinking she was an Indian, not an Indonesian.
“I fell in love and lived in Hong Kong for 10 years. I worked in the fashion business, Los Angeles, Germany, China and South China and always returned to Hong Kong. We got married in 2016,” said Paul.
He continued to tell us that in 2017, they celebrated their honeymoon in Bali. Long story short, in 2018 their twins were born, Isla and Sianna. Then they went ahead and agreed to stay in South Africa because of the good work.
“There I had a nanny and after some time I was sentenced to have prostate cancer which put me under great stress, after undergoing surgery I lost sexual function,” he told the media.
Since then the treatment has been unpleasant and since Covid 19 we have been stuck in Bali even though we briefly lived in Australia. They agreed to raise their twins in Bali.
” We decided to divorce and the court ruled that custody was on both sides. But that didn’t happen, ” he explained regretfully.
He also shared that his ex-wife already had a new boyfriend who was planning to get married.
” Let it be ”
As a good (normal) father, he only wants to be with his children according to a court decision.
“I’m worried that my child will be influenced (doctrine) that his new boyfriend is his father, not me. That’s dangerous for my child’s mental health,” she said through tears.
“I’m worried that his father is said to have left them, his father is angry (scary), his father is cruel (a monster), for me this is a crime, I can see videos of them being happy when they are with me,” he concluded.
Hezkiel Paat (Kiel) as his attorney also explained that government institutions related to child rights were not running well.
“Our clients were not given the opportunity to meet their children. Based on the suggestion from the Australian embassy, we met with the KPAI in Jakarta and we were advised to meet at the Bali KPPAD,” said Kiel.
After meeting with KPPAD Bali, they said that there was a violation of children’s rights. However, after a month of being asked by KPPAD, they changed their attitude regarding this violation of child custody.
” They agreed to bring both parties with counseling, we think this does not solve the problem. It is clear that this violation occurs because the child cannot meet his father and vice versa ”
The function of KPAI and KPPAD in accordance with the law is in addition to mediation and has the right to report violations of children’s rights to related parties.
“We have also tried to report it to the police. They (the ex-wife) have never been summoned, We are also confused about what makes this process difficult,” he said.
” Even though the decision from the Denpasar District Court clearly belongs to the father and mother. We ask the relevant parties to help us resolve this matter ” (Ray)
Hukum
Kisah Tragis Polwan Rusmini, Korban Konspirasi dan Sistem Bobrok di Polri
JAKARTA – Kisah Aiptu Rusmini, seorang Polwan yang dipecat dari institusi yang seharusnya melindungi, menjadi cerminan bobroknya mentalitas dan kinerja para oknum pimpinan di tubuh Polri. Kasus ini bukan sekadar masalah pemecatan, melainkan potret kegagalan sistem dalam melindungi dan menghadirkan keadilan bagi anggota yang terzalimi di institusi tersebut. Kepada anggotanya saja Polri gagal memberikan keadilan, bagaimana mungkin rakyat berharap mendapatkan keadilan dari institusi yang dibiayai ratusan triliyun uang rakyat itu?
Perselingkuhan suami Rusmini yang juga adalah anggota Polri, AKP Edy Arhansyah, dengan seorang wanita belasan tahun lalu seharusnya diproses sesuai ketentuan dan peraturan di internal Polri, bukan justru dijadikan pintu gerbang melakukan penzaliman dan pembungkaman terhadap sang Polisi Wanita itu. Namun faktanya, pelaporan Rusmini atas perilaku bejat suaminya ke pimpinan Polri justru dimanfaatkan sebagai alibi untuk menindas dan menyingkirkan Polwan dua anak ini.
Dari penuturan Aiptu Rusmini, tragedi menyedihkan yang menimpa dirinya bermula dari perselingkuhan AKP Edy Arhansyah dengan seorang wanita yang merupakan guru anaknya sendiri. Perselingkuhan suaminya itu dilaporkan ke Bidang Propam Polda Lampung dengan harapan suaminya ini diproses sesuai koridor hukum dan kode etik yang berlaku di internal institusi yang dijuluki wereng coklat itu.
Meskipun fakta perselingkuhan ini tidak diragukan, namun ternyata harapan Rusmini bertolak belakang dengan kenyataan. Malahan, yang terjadi selanjutnya sang polisi bejat AKP Edy Arhansyah yang kini bertugas di Polda Metro Jaya membangun konspirasi dengan sesama kolega polisi di Polda Lampung untuk memenjarakan istrinya. Tidak berhenti sampai di situ, Edy Arhansyah juga mengupayakan pemberhentian ibu dari anak-anaknya itu dari Polri melalui kerjasama busuk dengan koleganya di Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Lampung.
Akhirnya, Aiptu Rusmini yang telah mengabdikan diri belasan tahun di institusi Polri harus menjalani kurungan penjara selama delapan bulan dan dipecat dari Polri dengan alasan yang kabur dan finah keji suaminya sendiri. Sebuah fenomena hukum yang mencerminkan betapa bobroknya mentalitas oknum polisi Edy Arhansyah, sekaligus buruknya sistem penegakkan hukum di institusi yang kini juga dikenal sebagai parta coklat itu.
Ternyata, penderitaan Rusmini yang harus menanggung biaya hidup kedua anaknya yang ditinggal begitu saja oleh polisi bejat Edy Arhansyah, tidak berakhir sampai di situ saja. Belakangan Rusmini menemukan fakta bahwa gajinya selama delapan tahun diduga kuat digelapkan oleh oknum-oknum polisi di Polres Lampung Selatan, sejak dia dinyatakan dipecat di tahun 2016 lalu. Rusmini baru mengetahui hal itu ketika dia meminta Surat Keterangan Pemberhentian Gajinya dari Kantor Perbendaharaan Negara di Lampung awal tahun 2023 lalu. Dari sana dia mengetahui bahwa selama lebih dari 8 tahun gaji anggota polisi atas nama Aiptu Rusmini masih dikeluarkan dari kas negara, diterima bendahara Polres Lampung Selatan tetapi tidak dibayarkan kepada Rusmini.
Ironisnya, laporan Rusmini terhadap perilaku bejat AKP Edy Arhansyah dan para polisi yang terlibat menzoliminya tidak kunjung membuahkan hasil. Walaupun Rusmini sudah bolak-balik menyampaikan laporan ke Mabes Polri, Polda Lampung, dan Kompolnas, namun dia seakan membentur tembok besar china. Keadilan tidak berpihak kepadanya.
Ketidakjelasan dan lambannya proses hukum menunjukkan ketidakmampuan dan ketidakpedulian pimpinan Polri dalam menangani kasus ini. Sistem yang seharusnya melindungi anggota justru menjadi alat untuk menzalimi mereka. Mentalitas korup dan ketidakmampuan pimpinan Polri dalam menindaklanjuti laporan Rusmini menjadi penyebab utama kegagalan menghadirkan keadilan.
Ketidakjelasan dan ketidakadilan dalam proses hukum yang dilalui Rusmini mengisyaratkan adanya intervensi pihak-pihak tertentu. Apakah ada upaya menutupi kesalahan oknum-oknum tersebut? Atau apakah memang ada sistem yang sengaja dirancang untuk melindungi para oknum polisi bejat laku, para oknum polisi korup dan penyalahguna wewenang? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab secara transparan dan akuntabel oleh pimpinan Polri.
Kasus Aiptu Rusmini bukan sekadar masalah pribadi, melainkan cerminan dari masalah yang lebih besar di dalam tubuh Polri. Sistem yang tidak adil, mentalitas korup, dan ketidakmampuan pimpinan dalam menegakkan hukum dengan benar menjadi faktor kunci yang memperburuk kondisi ini. Institusi Polri perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mentalitas anggotanya.
Langkah-langkah yang perlu diambil untuk mencegah kasus serupa terulang di masa depan antara lain adanya penguatan sistem pengawasan dan transparansi. Sistem pengawasan yang lebih ketat dan terbuka perlu diterapkan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan penggelapan gaji anggota/karyawan.
Selain itu, juga diperlukan peningkatan kualitas pendidikan mental dan moral yang baik bagi seluruh anggota Polri. Pendidikan dan pelatihan yang komprehensif perlu diberikan kepada anggota Polri untuk meningkatkan integritas dan profesionalisme. Tidak kalah pentingnya, penegakan hukum yang tegas dan konsisten harus diutamakan. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten terhadap oknum-oknum yang terlibat dalam kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang mutlak diperlukan, termasuk terhadap mereka yang berperilaku amoral seperti oknum suami Rusmini, AKP Edy Arhansyah, yang kini bertugas di unit Polairud Polda Metro Jaya.
Dukungan dan perlindungan bagi anggota Polri yang terzalimi semestinya menjadi atensi prioritas bagi Kapolri. Institusi Polri perlu memberikan dukungan dan perlindungan bagi anggota yang terzalimi, yang melaporkan kasus-kasus penyalahgunaan wewenang dan oknum polisi kriminal oleh sesama anggota Polri sebagaimana yang dialami Aiptu Rusmini.
Kini, Rusmini mencoba peruntungan mendapatkan keadilan dengan mendatangi Posko Pengaduan Lapor Mas Wapres di Istana Wakil Presiden awal November 2024 lalu. Laporan pengaduan masyarakat yang disampaikan Polwan itu khabarnya telah direspon oleh Tim Penanganan Lapdumas yang dibentuk oleh Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia.
Dalam pernyataannya beberapa waktu lalu, Wilson Lalengke mengharapkan agar kasus penzoliman Aiptu Rusmini oleh lembaganya sendiri harus segera diselesaikan. “Kasus Aiptu Rusmini menjadi catatan dan penilaian buruk rakyat terhadap institusi Polri. Ketidakmampuan untuk menyelesaikan kasus ini bukan hanya merugikan Rusmini, tetapi juga merusak citra dan kredibilitas institusi Polri di mata masyarakat. Oleh sebab itu, sangat penting bagi Polri untuk segera menyelesaikan kasus tersebut serta melakukan perubahan sistemik dan memperbaiki mentalitas anggotanya agar kasus serupa tidak terulang kembali,” tegas tokoh pers nasional yang dikenal gigih memperjuangan warga yang tertindas di berbagai tempat itu.
Semoga kasus ini menjadi momentum bagi Polri untuk mereformasi diri dan menegakkan keadilan bagi semua anggotanya. Keadilan bagi Rusmini, adalah keadilan bagi institusi Polri itu sendiri. (TIM/Red)
Hukum
Aksi Premanisme di Banjar Hitta Buana, Teror Pemilik Usaha Salon, Tindakan Semena-mena Dikecam Warga dan Aparat
DENPASAR – Kasus penggembokan paksa sebuah ruko oleh pihak yang diduga preman di lingkungan Banjar Hitta Buana memunculkan kemarahan dan kecaman.
Sudah tiga hari usaha Salon Damai yang terletak di jalan Ahmad Yani Utara ini di gembok paksa secara sepihak oleh seseorang yang diduga preman yang mengaku memiliki lahan ini.
Ditemui dilokasi, pemilik usaha salon Damai, Dewi Istieck, bersama pemilik lahan, kuasa hukum, kepala lingkungan setempat dan kepolisian, melakukan upaya membuka segel gembok yang terpasang di pintu rukonya.
Dirinya menjadi korban dari aksi intimidasi, premanisme dan tindakan sewenang-wenang oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Pelaku, yang tidak memiliki hubungan hukum, mengklaim kepemilikan ruko dan menggemboknya secara sepihak, menyebabkan kerugian finansial dan tekanan psikologis yang mendalam.
“Saya sangat dirugikan secara lahir bathin. Ruko ini saya kontrak selama 20 tahun, semua kewajiban saya selesaikan dengan pemilik lahan hingga 2028. Sekarang tiba-tiba digembok oleh orang yang tidak punya hak,” ujar Dewi Istieck dengan penuh emosi.
Ia menyatakan bahwa akibat kejadian ini, usahanya terhenti, karyawan tidak bisa bekerja, dan kerugian terus bertambah setiap hari.
“Ini bukan hanya soal uang, tapi juga soal bagaimana saya bisa bekerja dengan tenang. Tindakan ini tidak manusiawi,” tambahnya.
Kepala lingkungan Banjar Hitta Buana, I Gede Agus Ariarta, mengecam keras aksi premanisme ini.
“Ini adalah tindakan yang mencoreng keamanan lingkungan dan melanggar hukum. Indonesia adalah negara hukum, bukan negara preman. Kalau ada masalah, selesaikan sesuai aturan, bukan dengan intimidasi dan kekerasan,” ujarnya.
Ia juga sudah menginstruksikan kepada pecalang dan limas untuk meningkatkan pengawasan lingkungan setempat agar kejadian serupa tidak terulang.
Pemilik lahan, Made Darmada, juga merasakan dampak dari tindakan premanisne ini. Dalam kondisi sakit, ia mengaku dipermalukan dan ditekan secara psikologis.
“Saya tidak punya hutang atau hubungan apa pun dengan pelaku. Tiba-tiba nama saya dibawa-bawa, rumah saya didatangi, bahkan saya dituduh berhutang miliaran rupiah. Ini penghinaan! Saya hanya ingin nama baik saya dipulihkan,” tegas Made Darmada
Pengacara, A.A. Ngurah Sutrisnawan ST, SH, alias Gung Kiss, dari kantor hukum Gunkiss and Partner’s, selaku kuasa hukum Made Darmada, menegaskan bahwa tindakan pelaku adalah merupakan pelanggaran hukum berat.
“Negara ini negara hukum, bukan negara kekuasaan, apalagi negara preman. Kalau pelaku merasa punya hak, buktikan di pengadilan, bukan dengan intimidasi dan kekerasan. Saya tidak akan menyerah untuk membela klien saya,” katanya dengan nada keras.
Ia dengan tegas menyatakan bahwa kliennya tidak memiliki utang atau hubungan hukum dengan pelaku, dan jika ada klaim terkait hutang, seharusnya diselesaikan melalui jalur perdata, bukan dengan intimidasi atau pemaksaan.
“Saya tidak akan menyerah. Sebagai pengacara, tugas saya adalah membela klien saya hingga kebenaran ditegakkan. Jika pelaku merasa memiliki hak, buktikan di pengadilan, bukan dengan cara barbar seperti ini,” ujarnya dengan nada geram.
Menindaklanjuti hal ini, dirinya akan membuat laporan pidana di Kepolisian atas kejadian yang menimpa kliennya ke Polsek Denpasar Utara
Dirinya juga meminta atensi kepada Kapolda Bali untuk segera mengusut tuntas kasus premanisme ini.
“Premanisme menciptakan ketakutan, trauma, dan rasa tidak aman. Saya mohon Kapolda Bali agar mengatensi kasus ini dan memberantas tindakan premanisme yang mencederai rasa keadilan masyarakat Bali,” tutup Gung Kiss.
Anggota Kepolisian, Putu Della Sarwo Wibowo, selaku Babinkamtibmas Kelurahan Peguyangan, yang mendampingi pembukaan segel gembok pada hari itu, menegaskan pentingnya penyelesaian melalui jalur hukum.
“Premanisme ini harus dihentikan. Kami dari kepolisian hanya menginginkan satu hal, jika ada permasalahan, selesaikan sesuai dalil hukum. Tidak ada tempat bagi tindakan intimidasi di lingkungan ini,” tegasnya.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa tindakan premanisme masih menjadi ancaman serius. Pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat diharapkan bersatu untuk memastikan keamanan dan kenyamanan warga, terutama mereka yang menggantungkan hidupnya pada usaha kecil. Hukum harus ditegakkan, dan pelaku tindakan sewenang-wenang harus dihukum sesuai aturan yang berlaku. (E’Brv)
Hukum
Julian Petroulas Responds to Allegations Amid Legal Dispute
Denpasar, Bali – Australian entrepreneur and public figure, Julian Petroulas, through his legal counsel
Indra Triantoro, S.H., M.H., of Bali Best – Law Office, has addressed recent media coverage questioning his activities in Bali, clarifying misconceptions about his land ownership and visa compliance.
Julian acquired the leasehold rights to the land over a year ago from a French citizen, whom he is now suing in the Denpasar District Court. These statements come amidst an ongoing legal dispute with the former lessor of the property.
Clarification on Land Ownership
Julian clarified statements he made in a YouTube video earlier this year. In the video, he referred to owning a 1.1-hectare property in Canggu, which he explained has been misunderstood.
“The term ‘owning’ was used in the context of leasehold rights, stated his legal counsel. “Julian does not own the land in freehold, as foreign nationals are prohibited from doing so under Indonesian law.
The lease agreement was executed by a notary, conducted transparently, and in full compliance with local regulations.” said Indra while holding the lease deed,.
Immigration Compliance
Addressing allegations of immigration violations, Julian Petroulas confirmed he uses a valid Visa on Arrival (VOA) during his visits to Bali. According to his legal counsel, he uses the visa solely for short visits to oversee his investments. Petroulas resides permanently in Dubai, not Indonesia, and does not physical manage or conduct any business operations in Bali, making his VOA a legitimate means of entry for his purposes.
In addition, Circular Letter Number IMI-0076.GR.01.01 of 2023 issued by Indonesian Immigration explicitly
permits VOA holders to conduct business meetings during their stay in Indonesia. This regulation supports
the legitimacy of Petroulas’ activities while visiting Bali.
Legal Dispute and Alleged Smear Campaign.
Petroulas is currently engaged in a lawsuit against the individual who sold him the leasehold rights to the
property. Filed in the Denpasar District Court, the lawsuit alleges breaches of contract and ethical violations in the transaction.
Following the filing of the lawsuit, several negative media articles targeting Petroulas have surfaced. His
legal team suspects these publications are part of a retaliatory smear campaign “We find the timing of these articles suspicious and believe they are intended to damage Julian’s
reputation during this legal dispute,”his legal counsel stated.
Tax Evasion Allegations Against Opponent
In addition to the legal dispute, Petroulas’ legal team has uncovered allegations of potential tax evasion
by his opponent related to the income tax owed on the land lease transaction. These allegations are being reported to the relevant authorities for investigation.
Commitment to Compliance and Contribution to Bali
Petroulas reiterated his commitment to conducting business ethically and legally in Bali. His investments,
which include popular hospitality venues like Penny Lane Bali, have supported the local economy through
job creation and tourism development.
“I have always respected Indonesian laws and customs and will continue to do so,” said Petroulas. “These
allegations are baseless, and 1 am confident the truth will prevail.”
Balanced and Factual Coverage
Bali Best- Law Office encouraged media outlets to uphold journalistic standards by verifying information
before publication and ensuring accuracy in their reporting.
“We trust that the media will act responsibly by presenting balanced and factual accounts,” Indra said.
“To clarify any misunderstandings, we willalso send a formal clarification letter to Immigration and other
relevant authorities, complete with supporting evidence, to resolve this matter transparently,” the statement concluded.(*)
-
Mangku Bumi5 years ago
HIDUP DHARMA
-
News9 months ago
Diduga Gelapkan Dana Ratusan Calon Pekerja Migran, Pengusaha Ibukota Diajukan Ke Meja Hijau
-
News2 years ago
Geger!! Siswi Kelas 2 Smp Ditemukan Gantung Diri Di Kandang Sapi
-
News10 years ago
Post Format: Gallery
-
News3 years ago
Kasus Ungasan, Orang Misterius Hadir ditengah Upacara sebut Kutukan Telah Jalan
-
Daerah4 years ago
Jangan Sampai Jadi Pemangku Tanggung, Ikuti Kursus Kepemangkuan Disini!
-
Mangku Bumi6 years ago
Mengenal lebih dekat Sareng Ide Sire Empu Dharma Sunu dari Griya Taman Pande Tonja Denpasar
-
Daerah4 years ago
Miris! Nusa Dua Tampak Seperti Abandoned City