Connect with us

Daerah

Tegang! Petinggi Desa Adat Emosi Saat Mediasi Kasus Lahan Sengketa

Published

on


Paruman Desa Adat Kubutambahan

GatraDewata[Singaraja] Tanah seluas 5 Are yang di miliki keluarga, Ketut Paang Suci Wira Brata Yudha, dulu hanya diberikan hak pinjam pakai oleh keluarganya kepada Banjar Adat untuk di jadikan Balai Dusun /Balai Banjar Adat pada tahun 1965. Seiring dengan tergerusnya waktu tanah tersebut beralih dan di sertifikatkan oleh salah satu oknum Prajuru Desa Adat melalui prona 2018. Bahkan di duga tidak melalui persatuan pemilik hak.

Paruman /rapat warga Banjar Adat dan Dinas Kaje Kangin Desa Kubutambahan Kamis (15/4 /2021) Sore. Pasalnya, permasalahan tanah balai dusun yang terjadi pengalihan hak dari pemilik ke Desa Adat, Kelian Banjar Adat tantang pemilik sah, bahkan siap di penjara. Insiden tersebut bertempat di Balai Dinas Kajekangin.

Kelian adat Kaje Kangin Gede Mudana dalam penyampaiannya kepada krama, dihadapan Camat, Perbekel dan Kadus, enggan menyerahkan kembali tanah terserbut ke pihak keluarga Ketut Paang namun melemparkan masalah tersebut kembali kepada masyarakat banjar Adat Kajekangin.

Rapat hampir tegang dan berhasil diredam oleh camat Kubutambahan Gede Suyasa, ia minta agar diselesaikan secara hati damai dan duduk bersama antara keluarga Ketut Paang dan Prajuru Adat sehingga polemik tidak berkepanjangan dan menjadi warisan warga sekitar.

Kelian Banjar Adat Kaja Kangin, I Gede Mudana, yang dari awal sudah terlihat emosi, menantang ahli waris Gede Putra (almarhum) untuk bertarung dan berperang lewat jalur hukum.

“Kita ada sertifikat, silahkan lewat jalur hukum. Saya siap masuk penjara, saya sudah biasa dipenjara. Kalau memang karena saya tandatangan surat, harus masuk penjara, saya siap masuk penjara,” tantang Kelian Banjar Adat Kajekangin I Gede Mudana seraya menegaskan bahwa dirinya siap mempertahankan Sertifikat Balai Banjar Adat Kajekangin yang berdiri atas tanah sengketa tersebut

Mudana mengaku dirinya berani masuk penjara karena dipastikan dia tidak akan sendiri masuk penjara. Ia pastikan bahwa kalau dia masuk penjara karena menandatangani surat pernyataan penguasaan atau pemilikan tanah itu maka ia yakin Perbekel Kubutambahan Gede Pariadnyana S.H. dan Kelian Desa Adat Kubutambahan Jro Pasek Ketut Warkadea pun masuk penjara bersama dirinya,” ujarnya

“Saya berani masuk penjara karena tidak mungkin saya sendiri masuk, pasti Jro Warkadea dan Perbekel pun masuk penjara bersama saya,” ucapnya lagi.

Rapat yang digelar di Balai Banjar Adat Kajekangin yang kini menjadi objek sengketa antara ahliwaris Gede Putra (almarhum) dengan Kelian Desa Adat Kubutambahan, Jro Pasek Ketut Warkadea itu beragenda tunggal minta sikap krama Banjar Adat Kajekangin soal somasi Bidkum Polda Bali, sebagai tim kuasa hukum ahliwaris Gede Putra (almarhum) sebagai pemilik tanah yang saat ini diatasnya dibangun Balai Banjar Adat Kajekangin itu.

Menariknya, somasi dilayangkan kepada pribadi Jro Pasek Warkadea namun Mudana malah melibatkan masyarakat di Banjar Kajekangin seolah somasi itu menjadi kasus bersama. “Saya tanya krama yang hadir, setuju mengembalikan tanah ini atau mempertahankan tanah dengan Balai Banjar Adat ini, tanya Mudana kepada krama peserta rapat.

Namun pertanyaan Mudana itu tidak direspon oleh krama yang hadir. Malah sebagian krama peserta rapat pergi meninggalkan rapat setelah mendengar pertanyaan Mudana itu.

Melihat situasi panas yang dibuat oleh Mudana, Camat Suyasa langsung memotong pembicaraan Mudana. Camat Suyasa meminta Mudana maupun krama agar tidak boleh menanggapi persoalan ini dengan emosi. “Tidak boleh menggunakan emosi. Mari kita mencari solusi terbaik. Mari kita melakukan mediasi dengan bertemu kedua pihak,” sergap Camat Suyasa.

Camat Suyasa menyatakan bahwa kasus ini bukan masalah kecil karena sudah masuk ke ranah hukum dengan melayangkan somasi kepada Jro Pasek Warkadea. Maka itu, ia meminta semua pihak harus menahan diri dan berhati-hati karena setelah sertifikat atas nama desa adat terbit, ahliwaris Gede Putra (almarhum) pun datang dengan membawa sertifikat. “Hati-hati karena ini sudah masuk ranah hukum, sudah ada somasi. Ini bukan main-main. Mari kita cari jalan keluar secara damai. Jangan bergerak apa-apa bagi yang tidak mengetahui apa-apa,” tandas Camat Suyasa.

Menurut pandangan Camat Suyasa, kasus ini masih di ranah masalah adminitrasi alias perdata. Jadi, ia mengajak semuanya bersama-sama mencari kebenaran dengan cara melakukan mediasi dengan bertemu kedua pihak baik ahliwaris maupun Jro Pasek Warkadea. “Tanyakan juga ke BPN bagaimana status tanah ini. Kalau sudah ada sertifikat sebelumnya, sekarang bagaimana cara menyelesaikan nya. Apakah perlu minta ke ahliwaris ya kita minta agar tetap dipakai. Biarkan Perbekel dan Kelian Banjar yang menyelesaikan, yang lain tidak usah ramai-ramai ikut,” papar Camat Suyasa lagi.

Sementara Perbekel Kubutambahan, Gede Pariadnyana mengaku bahwa dirinya memang ikut menandatangani surat pernyataan penguasaan karena Kelian Banjar Dinas Kajekangin sudah menandatanganinya terlebih dahulu. “Benar saya tanda tangan surat itu. Saya tanda tangan karena Kelian Banjar sebagai perpanjangan tangan dari Perbekel di bawah sudah tandatangan maka saya tandatangan. Karena Kelian Banjar sebagai pejabat terbawah lebih tahu di masyarakat,” ujar Perbekel Pariadnyana membela diri.

Sejumlah data yang diterima media ini menyebutkan bahwa lahan atau tanah seluas 500 meter persegi yang dipakai untuk SD 4 dan SD 5 serta Balai Banjar Adat Kaja Kangin itu berstatus pinjam pakai yang diberikan oleh pemiliknya bernama Gede Putra (almarhum).

Ketua LSM Garda Tipikor Indonesia Jro Gede Budiasa yang juga hadir dan tau persis setiap proses sertifikasi di BPN menerangkan, “Itu sudah jelas tanah milik, buka tanah negara atau tanah adat yang harus di pronakan, ini sama dengan mafia tanah mengatas namakan adat. Dan sudah ada keterangan dari para Kelian Banjar Dinas dalam surat keterangan tertanggal 12 Desember 2007, menyatakan bahwa lokasi tanah Balai Banjar Adat Kaja Kangin merupakan tanah milik pribadi atas nama Gede Putra (almarhum). Dari tahun 1971 sejak berdirinya Balai Banjar Adat Kajekangin sampai dengan sekarang statusnya tetap memijam kepada Gede Putra (almarhum) dan kepada para ahliwarisnya. Begitu juga lokasi tanah SD 4 dan SD 5 Kubutambahan memang benar milik pribadi atas nama Gede Putra (almarhum) dan sampai sekarang ahliwaris dari Gede Putra (almarhum) belum mendapat ganti rugi dari Pemkab Buleleng,” papar Gede Budiasa.

Gede Budiasa menambahkan, kendati pihaknya juga selaku warga setempat namun tidak menutup kemungkinan mendorong proses hukum, ada dugaan mafia tanah bernaung mengatas namakan Adat.

Informasi yang didapat, tanah tersebut sebenarnya telah diiklaskan dipergunakan selama-lamanya demi kepentingan umum, namun disertifikatkan atas nama krama Adat tanpa persetujuan ahliwaris oleh pihak Kelian Adat.<mega>


Daerah

Polemik Harga Babi di Bali, Peternak Merugi, GUPBI Serukan Peran Pemerintah yang Lebih Aktif

Published

on

BADUNG – Peternakan babi di Bali, yang menjadi salah satu pilar ekonomi masyarakat lokal, kini menghadapi tantangan berat terutama karena kenaikan harga yang dinilai memberatkan berbagai pihak. Di tingkat konsumen, daging babi kini menjadi lebih sulit dijangkau oleh masyarakat menengah ke bawah, sementara di sisi lain, para peternak juga menghadapi tantangan yang tak kalah berat.

Ketua Gabungan Peternak Babi Indonesia (GUPBI), I Ketut Hari Suyasa, mengungkapkan bahwa situasi ini mempengaruhi tidak hanya keberlangsungan usaha peternakan tetapi juga kesejahteraan masyarakat yang menggantungkan hidup pada sektor ini.

Harga babi hidup di tingkat peternak yang sebelumnya di angka Rp60.000 per kilogram, kini terkoreksi menjadi Rp55.000 per kilogram. Penurunan harga ini, menurut Suyasa, bukan karena menurunnya permintaan, tetapi lebih disebabkan oleh isu-isu yang membuat peternak panik.

“Isu-isu ini sengaja dimainkan untuk menekan harga di tingkat peternak. Akibatnya, terjadi lonjakan penawaran babi yang tidak terkontrol dan menurunkan harga secara drastis,” ungkapnya, Sabtu (21/12/2024)

Keluhan ini mencerminkan betapa rentannya posisi peternak dalam rantai ekonomi babi. Meski serapan dari luar daerah, seperti Jakarta, Sulawesi, dan Kalimantan, tetap tinggi, harga di Bali justru turun.

“Psikologi pasar menjadi faktor yang sangat memengaruhi kenaikan dan penurunan harga babi. Meskipun permintaan dari luar daerah seperti Sulawesi, Jakarta, dan Kalimantan tetap tinggi, harga di tingkat peternak kok malah turun. Ini menunjukkan ada pengaruh lain yang merusak stabilitas pasar. Ada pihak yang menikmati terjadinya selisih harga ini, tapi bukan peternak,” ujar Suyasa.

Peternakan babi di Bali juga harus menghadapi risiko besar dari penyakit seperti African Swine Fever (ASF) dan penyakit mulut dan kuku (PMK). ASF, yang belum memiliki vaksin dan daya bunuhnya mencapai 100%, ini menjadi ancaman utama.

“Kalau satu kandang kena ASF, seluruh ternak bisa mati. Ini risiko yang sangat berat bagi peternak,” kata Suyasa.

Saat terjadi wabah sebelumnya, banyak peternak yang merugi besar karena harga babi anjlok di bawah harga pokok produksi. Tahun lalu, misalnya, harga babi pernah menyentuh Rp25.000 per kilogram, sementara biaya produksi mencapai Rp40.000 per kilogram.

“Peternak sudah sering mengalami kerugian besar tanpa ada perlindungan atau kompensasi dari pemerintah,” keluh Suyasa.

Kritik keras juga dilayangkan kepada pemerintah yang dinilai kurang peduli terhadap kondisi peternak babi. Menurut Suyasa, pemerintah seharusnya memberikan perlindungan dan jaminan terhadap stabilitas harga serta mendukung pengelolaan risiko.

“Peternak ini rentan terhadap isu-isu yang dimainkan pasar. Pemerintah harus hadir untuk memberikan solusi, bukan hanya sekadar mencatat keluhan tanpa tindakan,” ujarnya.

Ia juga menyoroti perlunya dibentuk suatu badan usaha daerah yang berfungsi sebagai penyeimbang pasar.

“Kami sudah berkali-kali mengusulkan pembentukan badan usaha ini, tetapi usulan tersebut hanya menjadi catatan tanpa tindak lanjut,” tambahnya.

Selain itu, proses perizinan pengiriman daging babi beku ke luar daerah yang dianggap rumit juga menjadi beban tambahan.

Ia menyatakan bahwa untuk pengiriman babi hidup, persyaratan izinnya relatif cukup mudah, seperti surat penerimaan ternak di wilayah tujuan. Namun, untuk pengiriman dalam bentuk daging beku, proses perizinan dianggap lebih rumit, yang berpotensi memunculkan praktik ilegal.

“Kalau izin sulit didapat, seharusnya pemerintah mempermudah prosesnya agar peternak kita bisa tetap bersaing di pasar luar,” tambahnya.

GUPBI siap menjadi jembatan komunikasi antara peternak, pemotong, dan pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini. Suyasa bahkan mengusulkan pembentukan suatu konsorsium yang dapat mendukung distribusi daging babi ke luar daerah agar harganya tetap stabil dan menguntungkan kepada semua pihak.

Keluhan peternak tidak hanya datang dari sisi ekonomi tetapi juga dari aspek psikologis. Ketidakpastian harga dan risiko wabah membuat banyak peternak mulai kehilangan semangat untuk melanjutkan usaha.

“Beternak babi itu sangat berisiko, tetapi tanpa jaminan harga yang layak, banyak peternak yang berpikir dua kali untuk melanjutkan usaha mereka,” kata Suyasa.

Di tengah keluhan dan beban berat ini, para peternak berharap ada langkah konkret dari pemerintah untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Stabilitas harga, dukungan untuk menghadapi risiko wabah, dan kemudahan dalam perizinan menjadi tiga hal utama yang diharapkan peternak.

“Jika pemerintah serius ingin menjadikan Bali sebagai barometer peternakan babi di Indonesia, maka perlindungan terhadap peternak harus menjadi prioritas,” pungkasnya.

Dengan kondisi seperti ini, masa depan peternakan babi di Bali membutuhkan perhatian serius dari semua pemangku kepentingan. Dibutuhkan dukungan konkret dari pemerintah dan sinergi dengan GUPBI sebagai perwakilan peternak menjadi kunci untuk memastikan keberlanjutan dari salah satu tulang punggung perekonomian masyarakat Bali ini. (E’Brv)

Continue Reading

Daerah

Pj Gubernur Bali Serahkan Sertifikat Merk ke Winie Kaori Untuk YKWA Dan Minyak Goreng

Published

on

DENPASAR – Penjabat (Pj.) Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya menyerahkan sejumlah Surat Pencatatan/ Sertifikat Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), Penghargaan Kerthi Bhuwana Sandhi Nugraha serta Sertifikat Standardisasi dan Sertifikasi Lembaga Seni Provinsi Bali 2024 di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Selasa, 17 Desember 2024.

Salah satunya, Ni Kadek Winie Kaori Intan Mahkota selaku Owner PT Kaori Alam Nusantara (KAN) menerima Sertifikat Merek dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali melalui Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) Provinsi Bali bekerjasama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI buat Yayasan Kaori Welas Asih (YKWA) dan produk Minyak Goreng Kaori.

Atas capaian tersebut, Winie Kaori mengucapkan terima kasih atas support Pemerintah Provinsi Bali, guna menerima Sertifikat Merek.

Disebutkan, Sertifikat Merek ini berlaku selama 10 tahun, untuk bisa melindungi Merek yang telah didaftarkan.

“Astungkara, ini bisa menjadi perlindungan untuk pengusaha yang memang menggunakan Hak Merek, supaya aman untuk bisa dipublikasikan maupun didistribusikan ke seluruh Indonesia,” kata Winie Kaori.

Oleh karena itu, lanjutnya Warga Negara Indonesia (WNI) yang sudah memiliki Usaha dan Brand diharapkan jangan takut dan jangan ragu-ragu untuk mendaftarkan Merek sebagai salah satu langkah perlindungan untuk usahanya.

Bahkan, kedepannya diharapkan, semoga nanti usaha-usaha yang dibuatkan bisa mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual, baik Hak Merek, Hak Paten dan Hak Cipta yang bisa digunakan selama 10 tahun, sejak tanggal pendaftaran.

“Terima kasih untuk Pemerintah Provinsi Bali utamanya BRIPDA Bali dan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali yang sudah memberikan fasilitas kepada kami, para UMKM untuk semangat berkarya,” pungkasnya.

Untuk itu, Pemerintah Provinsi Bali melalui Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) Provinsi Bali bekerjasama dengan Kanwil Kemenkum HAM Provinsi Bali dan sentra-sentra Kekayaan Intelektual telah memfasilitasi pendaftaran Kekayaan Intelektual masyarakat Bali.

Apalagi, Pj.Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya sangat mengapresiasi kegiatan pendaftaran sertifikat HAKI oleh masyarakat Bali, lantaran masyarakat Bali terkenal dengan adat istiadat, yang kaya akan seni budaya, tradisi dan kreativitas.

“Masyarakat Bali sangat kreatif dan edukatif dengan menghasilkan banyak hasil karya. Bahkan, saya kaget juga anak-anak yang masih usia sekolah bisa menjadi seorang inovator, itu sangat luar biasa,” terangnya.

Tak hanya itu, masyarakat Bali juga diakui sangat kreatif melalui hasil kerajinan tangan, tari-tarian tradisional hingga kuliner khas Bali yang semuanya merupakan aset berharga menjadi kebanggaan Bali, sehingga terkenal di kalangan masyarakat global.

Warisan karya cipta, seni dan tradisi berciri khas Bali perlu mendapatkan perlindungan, sehingga Pemerintah Provinsi Bali sangat mendukung perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) masyarakat Bali, baik itu dalam bentuk Hak Cipta, Hak Merek, Hak Paten dan Indikasi Geografis (IG) maupun bentuk perlindungan lainnya.

“Dengan adanya HAKI, pencipta memiliki Hak Eksklusif atas ide, inovasi atas kreasi mereka. Hal tersebut menghindari mereka dari tindakan plagiat atau penggunaan karya tanpa izin, sehingga mereka bisa aman untuk terus berkarya,” paparnya.

Disebutkan, dalam kurun waktu 2019-2024, Pemerintah telah menerbitkan 425 sertifikat yang terdiri dari Kekayaan Intelektual Kepemilikan Komunal sebanyak 36 sertifikat terdiri dari 20 Sertifikat Ekspresi Budaya Tradisional (EBT), 11 Sertifikat Indikasi Geografis (IG), 3 Sertifikat Pengetahuan Tradisional (PT) dan 2 Sertifikat Sumber Daya Genetik (SDG).

“Selain itu, Kekayaan Intelektual Kepemilikan Personal sebanyak 389 sertifikat, terdiri dari 291 Sertifikat Hak Cipta, 3 Sertifikat Hak Paten dan 95 Sertifikat Hak Merek,” kata Mahendra Jaya. (*).

Continue Reading

Daerah

Kepala Desa di Luwu Diminta Setor Rp4,5 Juta untuk Bimtek Stunting, Publik Pertanyakan Transparansi

Published

on

LUWU – Pelaksanaan Bimbingan Teknis (Bimtek) bertema Percepatan Penurunan Stunting Desa se-Kabupaten Luwu Tahun 2024 menuai kontroversi. Program ini yang dikelola oleh PT Putri Dewani Mandiri atas persetujuan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Luwu, membebankan biaya Rp.4,5 juta per desa.

Ketua Forum Pemerhati Pemerintahan Desa dan Kelurahan (FP2KEL), Ismail Ishak, mengkritisi kebijakan tersebut. “Biaya yang dihimpun dari 207 desa mencapai ratusan juta rupiah. Namun, efektivitas kegiatan ini diragukan karena banyak prioritas lain yang lebih mendesak untuk desa,” ujar Ismail. Ia juga menyebut kegiatan ini tidak sesuai dengan amanat Peraturan Desa Nomor 13 Tahun 2023 yang mengutamakan intervensi berbasis kebutuhan lokal.

Kritik ini diperkuat oleh beredarnya surat undangan bertanggal 5 Desember 2024, yang meminta setiap desa menyetorkan dana Rp4,5 juta melalui rekening PT Putri Dewani Mandiri. Namun, pihak penyelenggara membantah isu tersebut.

“Biaya ini tidak besar jika dibagi per peserta. Lima orang dari setiap desa mengikuti Bimtek, artinya rata-rata hanya Rp900 ribu per peserta. Ini investasi untuk pemahaman mereka terkait program stunting,” ujar Andi Hamzah, Bendahara PT Putri Dewani Mandiri.

Meski demikian, transparansi penggunaan anggaran menjadi sorotan. Beberapa kepala desa mempertanyakan apakah biaya tersebut sejalan dengan manfaat yang diperoleh.

DPMD Luwu Bungkam
Hingga berita ini diturunkan, Kepala DPMD Luwu, Kasmaruddin, belum memberikan pernyataan resmi terkait tudingan publik. Pelaksanaan Bimtek ini dijadwalkan berlangsung pada 13–17 Desember 2024 di Aula Bappeda Luwu dan Kota Palopo.

Tantangan Penurunan Stunting
Luwu memiliki 207 desa yang terlibat dalam program ini. Penurunan angka stunting memang menjadi prioritas nasional, tetapi pengalokasian dana desa untuk Bimtek dinilai kurang tepat. Beberapa pihak mendesak agar kegiatan seperti ini diselaraskan dengan kebutuhan lokal dan difokuskan pada solusi konkret di lapangan.

Program ini kini menjadi ujian bagi pemerintah daerah untuk menjawab kritik publik, memastikan akuntabilitas, dan membangun kepercayaan masyarakat terhadap penggunaan anggaran desa. (SRF/red)

Continue Reading

Trending

Copyright © 22 Juni 2013 Gatradewata. Pesonamu Inspirasiku