Connect with us

Daerah

Kresna Budi : Disesuaikan Dengan Prokes, Pariwisata Bali Segera Dibuka

Published

on


GATRA DEWATA | DENPASAR | Ketua Komisi II DPRD Bali dari Fraksi Golkar I.G.K Kresna Budi sangat optimis kalau pariwisata Bali akan segera dibuka secepatnya. Mengingat, masyarakat Bali sudah banyak yang sudah di vaksin.

“Dipastikan ada tiga kawasan yang akan diprioritaskan terlebih dahulu untuk dibuka sebagai kunjungan awal wisatawan di Pandemi Covid-19 seperti kawasan Nusa Dua, Sanur dan Ubud yang sudah sepenuhnya menerapkan Protokol Kesehatan (Prokes),” ujarnya, Jumat (26/3/2021).

Lanjutnya, kenapa ketiga kawasan ini yang diutamakan untuk segera dibuka sebagai awal kunjungan wisatawan di Pandemi Covid-19. Karena ketiga kawasan yang akan segera dibuka ini merupakan kawasan strategis yang sangat menarik untuk dikunjungi.

“Intinya, Bali sudah siap untuk segera bisa dibuka untuk bisa dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Karena diyakini Bali sudah aman dan terbebas dari Pandemi Covid-19,” terangnya.

Kemudian, Kresna Budi juga memberikan masukan kepada pemerintah agar tiga kawasan yang segera akan dibuka menjadi kunjungan wisatawan pertama di Pandemi Covid-19 ini, supaya segera dipersiapan segala sesuatunya dengan baik terutamanya berkaitan dengan Prokes.

“Karena saya sendiri sangat optimis Pariwisata Bali segera dibuka, asalkan seluruh komponen disekitarnya ikut ambil bagian dan mendukung untuk secepatnya bisa dibuka,” imbuhnya.

Ditambahkan, kesiapan ketiga kawasan yang sudah dirasakan siap menjadi kunjungan wisatawan, selain kesiapan dari Prokes. Kesiapan lainya seperti di kawasan Nusa Dua sendiri contohnya yakni di kawasan tersebut banyak terdapat hotel sudah mendapatkan sertifikat CHSE dari Kemenparekraf dan Dinas Pariwisata Bali.

Bahkan nantinya wisatawan yang akan berkunjung ke kawasan Nusa Dua juga sudah disiapkan Rumah Sakit terdekat jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

“Nusa Dua itu sudah siap. Rumah Sakit ada. Pemadam Kebakaran ada. Travel banyak. Jarak Bandara dekat dan seluruh karyawan di Nusa Dua juga sudah semua di Vaksin”, tambahnya

Sembari menjelaskan dari dampak yang ditimbulkannya bila dibukanya ketiga kawasan ini akan mendukung kemajuan perekonomian Bali yang dirasakan sempat mengalami keterpurukan di Pandemi Covid-19.

“Ini juga bisa menghidupkan sendi perekonomian seperti travel, hotel dan restauran akan hidup dan akan merasakan imbas dari dibukanya kunjungan wisatawan ini. Dibukanya kunjungan wisatawan ini juga akan berimbas pada kawasan lainya seperti Kuta dan Seminyak,” pungkasnya.SUS


Daerah

Bersama dalam Sunyi, Warga Serangan dan BTID Bangun Masa Depan

Published

on

By

Masyarakat Adat Serangan.

DENPASAR – Di tengah dinamika pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kura Kura Bali, Desa Adat Serangan dan PT Bali Turtle Island Development (BTID) menunjukkan kolaborasi yang kuat dan konsisten. Tanpa banyak sorotan, keduanya terus berjalan beriringan membangun kawasan dengan semangat kebersamaan dan saling percaya.

Sejak lama, hubungan antara warga Serangan dan BTID tidak hanya bersifat formal, tapi juga personal dan kekeluargaan. Dalam setiap aspek kehidupan—adat, budaya, lingkungan, hingga pembangunan—masyarakat dilibatkan secara aktif.

“Keterbukaan untuk berkomunikasi selalu kita jaga. Tidak semua harus diumumkan, yang penting kepercayaan dan niat baik,” ujar Jro Ketut Sudiarsa, Mangku Pura Pat Payung.

Jro Ketut menyampaikan dukungan penuh terhadap pembangunan KEK Kura Kura Bali, seraya berharap berkah dari Ida Betara Dalem Pat Payung agar semua rencana berjalan lancar.

Bendesa Adat Serangan, I Nyoman Gede Pariatha, menegaskan pentingnya menjaga harmoni. Ia menyebut bahwa komunikasi adalah kunci untuk merawat hubungan yang baik, termasuk dengan investor seperti BTID.

“Kami ingin pembangunan ini membawa manfaat dan kesejahteraan bagi warga. Kura Kura Bali adalah bagian dari desa kami,” ujarnya.

Kontribusi nyata BTID selama ini juga tak sedikit. Sejak kesepakatan tahun 1998, BTID telah menyerahkan lahan lebih dari 7 hektar, menyediakan fasilitas umum, dan membantu akses ibadah. Salah satu hal yang paling dikenang adalah keputusan BTID untuk tidak melakukan PHK terhadap karyawan asal Serangan saat pandemi Covid-19.

“Saat perusahaan lain memberhentikan pegawai, warga kami tetap digaji. Itu sangat berarti,” kata Gede Pariatha.

Lurah Serangan, Ni Wayan Sukanami, turut menyampaikan hal senada. Ia mengapresiasi komunikasi baik yang terus dibangun antara warga dan BTID, termasuk dalam pengembangan infrastruktur seperti jembatan ke Pura Sakenan yang dulunya hanya bisa diakses dengan berjalan kaki atau jukung.

“Kontribusi BTID banyak dan positif. Hubungan tetap harmonis dan kondusif,” ujarnya.

Kolaborasi ini membuktikan bahwa pembangunan yang berakar pada budaya dan keharmonisan bukan hanya mimpi. Ia sudah berjalan nyata, meski tanpa hingar-bingar. (Tim)

Continue Reading

Daerah

Polres Jembrana Turunkan 293 Personel untuk Pengamanan Pawai Ogoh-Ogoh Saat Ngerupuk

Published

on

Jembrana – Sebanyak 293 personel dari Polres Jembrana dan Polsek jajaran diterjunkan untuk mengamankan jalannya Pawai Ogoh-Ogoh yang digelar di Kabupaten Jembrana. Jumat (28/3).

Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1947 yang berlangsung meriah di seluruh Bali, termasuk di Kabupaten Jembrana. Kapolres Jembrana, AKBP Endang Tri Purwanto, dalam keterangannya mengatakan bahwa pengamanan ini bertujuan untuk memastikan kelancaran dan keamanan pawai Ogoh-Ogoh yang melibatkan ribuan warga dari berbagai desa.

Kapolres Jembrana AKBP Endang Tri Purwanto saat upacara persiapan pengamanan menjelang pawai ogoh-ogoh pada jumat (28/3) di halaman Mapolres Jembrana

“Kami siapkan personel yang tersebar di beberapa titik, baik di sepanjang rute pawai maupun di lokasi-lokasi keramaian. Pengamanan ini sangat penting untuk menjaga agar kegiatan dapat berjalan dengan aman, tertib, dan kondusif,” ujar Kapolres Endang.

Selain itu, pihak kepolisian juga berkoordinasi dengan pihak terkait lainnya, seperti TNI, Satpol PP dan Dinas Perhubungan dan pecalang guna mengatur lalu lintas dan memastikan kenyamanan bagi masyarakat yang mengikuti atau menyaksikan pawai.

Pawai Ogoh-Ogoh di Kabupaten Jembrana menjadi salah satu agenda tahunan yang dinanti oleh masyarakat. Acara ini tidak hanya sebagai simbol perayaan Nyepi, tetapi juga sebagai ajang kebersamaan dan perwujudan kreativitas warga dalam membuat ogoh-ogoh yang kemudian diarak di jalan-jalan utama desa dan kota.

Dengan pengamanan yang maksimal, diharapkan Pawai Ogoh-Ogoh di Kabupaten Jembrana dapat berlangsung dengan sukses dan memberikan rasa aman bagi seluruh peserta serta masyarakat yang menyaksikan.

Continue Reading

Daerah

Polemik Harga Babi di Bali, Peternak Merugi, GUPBI Serukan Peran Pemerintah yang Lebih Aktif

Published

on

BADUNG – Peternakan babi di Bali, yang menjadi salah satu pilar ekonomi masyarakat lokal, kini menghadapi tantangan berat terutama karena kenaikan harga yang dinilai memberatkan berbagai pihak. Di tingkat konsumen, daging babi kini menjadi lebih sulit dijangkau oleh masyarakat menengah ke bawah, sementara di sisi lain, para peternak juga menghadapi tantangan yang tak kalah berat.

Ketua Gabungan Peternak Babi Indonesia (GUPBI), I Ketut Hari Suyasa, mengungkapkan bahwa situasi ini mempengaruhi tidak hanya keberlangsungan usaha peternakan tetapi juga kesejahteraan masyarakat yang menggantungkan hidup pada sektor ini.

Harga babi hidup di tingkat peternak yang sebelumnya di angka Rp60.000 per kilogram, kini terkoreksi menjadi Rp55.000 per kilogram. Penurunan harga ini, menurut Suyasa, bukan karena menurunnya permintaan, tetapi lebih disebabkan oleh isu-isu yang membuat peternak panik.

“Isu-isu ini sengaja dimainkan untuk menekan harga di tingkat peternak. Akibatnya, terjadi lonjakan penawaran babi yang tidak terkontrol dan menurunkan harga secara drastis,” ungkapnya, Sabtu (21/12/2024)

Keluhan ini mencerminkan betapa rentannya posisi peternak dalam rantai ekonomi babi. Meski serapan dari luar daerah, seperti Jakarta, Sulawesi, dan Kalimantan, tetap tinggi, harga di Bali justru turun.

“Psikologi pasar menjadi faktor yang sangat memengaruhi kenaikan dan penurunan harga babi. Meskipun permintaan dari luar daerah seperti Sulawesi, Jakarta, dan Kalimantan tetap tinggi, harga di tingkat peternak kok malah turun. Ini menunjukkan ada pengaruh lain yang merusak stabilitas pasar. Ada pihak yang menikmati terjadinya selisih harga ini, tapi bukan peternak,” ujar Suyasa.

Peternakan babi di Bali juga harus menghadapi risiko besar dari penyakit seperti African Swine Fever (ASF) dan penyakit mulut dan kuku (PMK). ASF, yang belum memiliki vaksin dan daya bunuhnya mencapai 100%, ini menjadi ancaman utama.

“Kalau satu kandang kena ASF, seluruh ternak bisa mati. Ini risiko yang sangat berat bagi peternak,” kata Suyasa.

Saat terjadi wabah sebelumnya, banyak peternak yang merugi besar karena harga babi anjlok di bawah harga pokok produksi. Tahun lalu, misalnya, harga babi pernah menyentuh Rp25.000 per kilogram, sementara biaya produksi mencapai Rp40.000 per kilogram.

“Peternak sudah sering mengalami kerugian besar tanpa ada perlindungan atau kompensasi dari pemerintah,” keluh Suyasa.

Kritik keras juga dilayangkan kepada pemerintah yang dinilai kurang peduli terhadap kondisi peternak babi. Menurut Suyasa, pemerintah seharusnya memberikan perlindungan dan jaminan terhadap stabilitas harga serta mendukung pengelolaan risiko.

“Peternak ini rentan terhadap isu-isu yang dimainkan pasar. Pemerintah harus hadir untuk memberikan solusi, bukan hanya sekadar mencatat keluhan tanpa tindakan,” ujarnya.

Ia juga menyoroti perlunya dibentuk suatu badan usaha daerah yang berfungsi sebagai penyeimbang pasar.

“Kami sudah berkali-kali mengusulkan pembentukan badan usaha ini, tetapi usulan tersebut hanya menjadi catatan tanpa tindak lanjut,” tambahnya.

Selain itu, proses perizinan pengiriman daging babi beku ke luar daerah yang dianggap rumit juga menjadi beban tambahan.

Ia menyatakan bahwa untuk pengiriman babi hidup, persyaratan izinnya relatif cukup mudah, seperti surat penerimaan ternak di wilayah tujuan. Namun, untuk pengiriman dalam bentuk daging beku, proses perizinan dianggap lebih rumit, yang berpotensi memunculkan praktik ilegal.

“Kalau izin sulit didapat, seharusnya pemerintah mempermudah prosesnya agar peternak kita bisa tetap bersaing di pasar luar,” tambahnya.

GUPBI siap menjadi jembatan komunikasi antara peternak, pemotong, dan pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini. Suyasa bahkan mengusulkan pembentukan suatu konsorsium yang dapat mendukung distribusi daging babi ke luar daerah agar harganya tetap stabil dan menguntungkan kepada semua pihak.

Keluhan peternak tidak hanya datang dari sisi ekonomi tetapi juga dari aspek psikologis. Ketidakpastian harga dan risiko wabah membuat banyak peternak mulai kehilangan semangat untuk melanjutkan usaha.

“Beternak babi itu sangat berisiko, tetapi tanpa jaminan harga yang layak, banyak peternak yang berpikir dua kali untuk melanjutkan usaha mereka,” kata Suyasa.

Di tengah keluhan dan beban berat ini, para peternak berharap ada langkah konkret dari pemerintah untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Stabilitas harga, dukungan untuk menghadapi risiko wabah, dan kemudahan dalam perizinan menjadi tiga hal utama yang diharapkan peternak.

“Jika pemerintah serius ingin menjadikan Bali sebagai barometer peternakan babi di Indonesia, maka perlindungan terhadap peternak harus menjadi prioritas,” pungkasnya.

Dengan kondisi seperti ini, masa depan peternakan babi di Bali membutuhkan perhatian serius dari semua pemangku kepentingan. Dibutuhkan dukungan konkret dari pemerintah dan sinergi dengan GUPBI sebagai perwakilan peternak menjadi kunci untuk memastikan keberlanjutan dari salah satu tulang punggung perekonomian masyarakat Bali ini. (E’Brv)

Continue Reading

Trending

Copyright © 22 Juni 2013 Gatradewata. Pesonamu Inspirasiku