Daerah
Bank Sampah Terbaik di Kecamatan Ubud Diganjar Penghargaan
GATRA DEWATA|GIANYAR| Apresiasi Program Bank Sampah dan Cup Collection di Wilayah Kecamatan Ubud digelar pada Jumat (18/12) di wantilan Pura Taman Pule, Desa Mas, Ubud, Gianyar. Dalam acara ini diberikan penghargaan kepada bank sampah yang dinilai terbaik dalam pengelolaan sampah di Kecamatan Ubud selama pelaksanaan program dari Januari s.d November 2020.
Bank sampah yang berhasil menjadi terbaik dalam program ini yakni Bank Sampah Taman Resik (Terbaik I), Bank Sampah Batanancak Resik (Terbaik II), dan Bank Sampah Sundara Lungsiakan (Terbaik III). Kemudian, bank sampah dengan cup collection terbanyak adalah Batanancak Resik, Sundara Lungsiakan, dan Mawang Resik Lestari. Penghargaan juga diberikan kepada Desa Kedewatan sebagai desa terbaik dalam pengelolaan sampah.
Ketua Yayasan Bali Wastu Lestari (BWL), Ni Wayan Riawati, selaku penggagas kegiatan menyampaikan, apresiasi ini merupakan rangkaian program kampanye dan edukasi pengelolaan sampah 3R pilah sampah dan bank sampah (target grup perempuan) yang dilaksanakan Yayasan BWL bekerja sama dengan CSR PT Tirta Investama (Aqua) dan Parahyangan Green Recycle serta didukung Pemkab Gianyar. Melalui program ini pihaknya ingin meningkatkan antusiasme kepala desa untuk menggerakkan sistem bank sampah di Ubud dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk bijak dalam pemakaian plastik. Program ini dilaksanakan di delapan desa/kelurahan.
Target yang ditetapkan pada program percepatan pengembangan bank sampah di wilayah Ubud tahun 2020 adalah 10 bank sampah unit (BSU). Dengan capaian 7 BSU telah aktif melayani transaksi setoran sampah, sedangkan 3 lainnya telah terbentuk namun masih terkendala kasus positif Covid-19 di wilayah mereka. Dengan penambahan 10 BSU, maka total bank sampah yang telah terbentuk di Ubud sejak 2014 adalah 18 BSU.
Penawaran program ini kepada delapan desa/kelurahan di wilayah Ubud secara serentak juga bertujuan untuk melihat sejauh mana kepala desa menetapkan skala prioritas pada usaha pengelolaan sampah berbasis sumber. “Dan faktanya adalah belum semua kepala desa merespons dan memanfaatkan penawaran program dari kami,” ungkap Riawati.
Dalam sambutannya, perwakilan dari PT Tirta Investama menyebutkan pentingnya sinergi dan kolaborasi untuk menghadapi tantangan sampah plastik di Bali. Data tahun 2019 menunjukkan, tidak kurang dari 33.000 ton sampah plastik bocor ke lautan di Bali setiap tahunnya. Aqua berusaha menjadi bagian dari solusi lewat Gerakan #BijakBerplastik yang telah diinisiasi sejak 2018 untuk mendukung target Pemerintah Indonesia mengurangi sampah plastik di lautan hingga 70% di tahun 2025. Sejak diluncurkan, Gerakan #BijakBerplastik berfokus terhadap tiga hal yaitu pengembangan infrastruktur pengumpulan sampah, edukasi konsumen dan anak usia sekolah, serta inovasi kemasan.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kabupaten Gianyar melalui Kasi Sarana Prasarana Persampahan, Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah B3, I Wayan Subawa, mengatakan, sangat mengapresiasi Yayasan BWL karena sejak tahun 2015 sudah bergerak dalam pembinaan bank sampah di Gianyar. Subawa menekankan, UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan bahwa pengelolaan sampah menjadi tanggung jawab tiga unsur utama yakni pemerintah, dunia usaha, dan peran aktif masyarakat.
“Seberapa kaya suatu pemerintah daerah tanpa dukungan peran aktif dunia usaha seperti PT Tirta Investama dan peran aktif masyarakat, maka permasalahan sampah tidak akan terselesaikan. Kami sangat mengapresiasi masyarakat Ubud dan Yayasan Bali Wastu Lestari karena sudah mampu membangun bank sampah 18 unit di Ubud dan mampu mengurangi sampah tercecer. Ini prestasi yang luar biasa,” kata Subawa.
Camat Ubud, Ida Bagus Suamba, mengucapkan terima kasih kepada PT Tirta Investama dan Yayasan BWL yang telah melaksanaan program tersebut. Diharapkan bank sampah-bank sampah yang terbentuk dan dibina BWL dapat mengedukasi masyarakat serta menjadi contoh bagi masyarakat bagaimana memilah dan mengolah sampah mulai dari lingkungan masing-masing. “Semoga sampah plastik yang menjadi permasalahan utama saat ini bisa ditanggulangi, sehingga bisa dikurangi atau bahkan tidak ada lagi sampah plastik yang hanyut ke laut,” ucap Suamba. (Rk)
Daerah
Polemik Harga Babi di Bali, Peternak Merugi, GUPBI Serukan Peran Pemerintah yang Lebih Aktif
BADUNG – Peternakan babi di Bali, yang menjadi salah satu pilar ekonomi masyarakat lokal, kini menghadapi tantangan berat terutama karena kenaikan harga yang dinilai memberatkan berbagai pihak. Di tingkat konsumen, daging babi kini menjadi lebih sulit dijangkau oleh masyarakat menengah ke bawah, sementara di sisi lain, para peternak juga menghadapi tantangan yang tak kalah berat.
Ketua Gabungan Peternak Babi Indonesia (GUPBI), I Ketut Hari Suyasa, mengungkapkan bahwa situasi ini mempengaruhi tidak hanya keberlangsungan usaha peternakan tetapi juga kesejahteraan masyarakat yang menggantungkan hidup pada sektor ini.
Harga babi hidup di tingkat peternak yang sebelumnya di angka Rp60.000 per kilogram, kini terkoreksi menjadi Rp55.000 per kilogram. Penurunan harga ini, menurut Suyasa, bukan karena menurunnya permintaan, tetapi lebih disebabkan oleh isu-isu yang membuat peternak panik.
“Isu-isu ini sengaja dimainkan untuk menekan harga di tingkat peternak. Akibatnya, terjadi lonjakan penawaran babi yang tidak terkontrol dan menurunkan harga secara drastis,” ungkapnya, Sabtu (21/12/2024)
Keluhan ini mencerminkan betapa rentannya posisi peternak dalam rantai ekonomi babi. Meski serapan dari luar daerah, seperti Jakarta, Sulawesi, dan Kalimantan, tetap tinggi, harga di Bali justru turun.
“Psikologi pasar menjadi faktor yang sangat memengaruhi kenaikan dan penurunan harga babi. Meskipun permintaan dari luar daerah seperti Sulawesi, Jakarta, dan Kalimantan tetap tinggi, harga di tingkat peternak kok malah turun. Ini menunjukkan ada pengaruh lain yang merusak stabilitas pasar. Ada pihak yang menikmati terjadinya selisih harga ini, tapi bukan peternak,” ujar Suyasa.
Peternakan babi di Bali juga harus menghadapi risiko besar dari penyakit seperti African Swine Fever (ASF) dan penyakit mulut dan kuku (PMK). ASF, yang belum memiliki vaksin dan daya bunuhnya mencapai 100%, ini menjadi ancaman utama.
“Kalau satu kandang kena ASF, seluruh ternak bisa mati. Ini risiko yang sangat berat bagi peternak,” kata Suyasa.
Saat terjadi wabah sebelumnya, banyak peternak yang merugi besar karena harga babi anjlok di bawah harga pokok produksi. Tahun lalu, misalnya, harga babi pernah menyentuh Rp25.000 per kilogram, sementara biaya produksi mencapai Rp40.000 per kilogram.
“Peternak sudah sering mengalami kerugian besar tanpa ada perlindungan atau kompensasi dari pemerintah,” keluh Suyasa.
Kritik keras juga dilayangkan kepada pemerintah yang dinilai kurang peduli terhadap kondisi peternak babi. Menurut Suyasa, pemerintah seharusnya memberikan perlindungan dan jaminan terhadap stabilitas harga serta mendukung pengelolaan risiko.
“Peternak ini rentan terhadap isu-isu yang dimainkan pasar. Pemerintah harus hadir untuk memberikan solusi, bukan hanya sekadar mencatat keluhan tanpa tindakan,” ujarnya.
Ia juga menyoroti perlunya dibentuk suatu badan usaha daerah yang berfungsi sebagai penyeimbang pasar.
“Kami sudah berkali-kali mengusulkan pembentukan badan usaha ini, tetapi usulan tersebut hanya menjadi catatan tanpa tindak lanjut,” tambahnya.
Selain itu, proses perizinan pengiriman daging babi beku ke luar daerah yang dianggap rumit juga menjadi beban tambahan.
Ia menyatakan bahwa untuk pengiriman babi hidup, persyaratan izinnya relatif cukup mudah, seperti surat penerimaan ternak di wilayah tujuan. Namun, untuk pengiriman dalam bentuk daging beku, proses perizinan dianggap lebih rumit, yang berpotensi memunculkan praktik ilegal.
“Kalau izin sulit didapat, seharusnya pemerintah mempermudah prosesnya agar peternak kita bisa tetap bersaing di pasar luar,” tambahnya.
GUPBI siap menjadi jembatan komunikasi antara peternak, pemotong, dan pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini. Suyasa bahkan mengusulkan pembentukan suatu konsorsium yang dapat mendukung distribusi daging babi ke luar daerah agar harganya tetap stabil dan menguntungkan kepada semua pihak.
Keluhan peternak tidak hanya datang dari sisi ekonomi tetapi juga dari aspek psikologis. Ketidakpastian harga dan risiko wabah membuat banyak peternak mulai kehilangan semangat untuk melanjutkan usaha.
“Beternak babi itu sangat berisiko, tetapi tanpa jaminan harga yang layak, banyak peternak yang berpikir dua kali untuk melanjutkan usaha mereka,” kata Suyasa.
Di tengah keluhan dan beban berat ini, para peternak berharap ada langkah konkret dari pemerintah untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Stabilitas harga, dukungan untuk menghadapi risiko wabah, dan kemudahan dalam perizinan menjadi tiga hal utama yang diharapkan peternak.
“Jika pemerintah serius ingin menjadikan Bali sebagai barometer peternakan babi di Indonesia, maka perlindungan terhadap peternak harus menjadi prioritas,” pungkasnya.
Dengan kondisi seperti ini, masa depan peternakan babi di Bali membutuhkan perhatian serius dari semua pemangku kepentingan. Dibutuhkan dukungan konkret dari pemerintah dan sinergi dengan GUPBI sebagai perwakilan peternak menjadi kunci untuk memastikan keberlanjutan dari salah satu tulang punggung perekonomian masyarakat Bali ini. (E’Brv)
Daerah
Pj Gubernur Bali Serahkan Sertifikat Merk ke Winie Kaori Untuk YKWA Dan Minyak Goreng
DENPASAR – Penjabat (Pj.) Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya menyerahkan sejumlah Surat Pencatatan/ Sertifikat Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), Penghargaan Kerthi Bhuwana Sandhi Nugraha serta Sertifikat Standardisasi dan Sertifikasi Lembaga Seni Provinsi Bali 2024 di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Selasa, 17 Desember 2024.
Salah satunya, Ni Kadek Winie Kaori Intan Mahkota selaku Owner PT Kaori Alam Nusantara (KAN) menerima Sertifikat Merek dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali melalui Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) Provinsi Bali bekerjasama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI buat Yayasan Kaori Welas Asih (YKWA) dan produk Minyak Goreng Kaori.
Atas capaian tersebut, Winie Kaori mengucapkan terima kasih atas support Pemerintah Provinsi Bali, guna menerima Sertifikat Merek.
Disebutkan, Sertifikat Merek ini berlaku selama 10 tahun, untuk bisa melindungi Merek yang telah didaftarkan.
“Astungkara, ini bisa menjadi perlindungan untuk pengusaha yang memang menggunakan Hak Merek, supaya aman untuk bisa dipublikasikan maupun didistribusikan ke seluruh Indonesia,” kata Winie Kaori.
Oleh karena itu, lanjutnya Warga Negara Indonesia (WNI) yang sudah memiliki Usaha dan Brand diharapkan jangan takut dan jangan ragu-ragu untuk mendaftarkan Merek sebagai salah satu langkah perlindungan untuk usahanya.
Bahkan, kedepannya diharapkan, semoga nanti usaha-usaha yang dibuatkan bisa mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual, baik Hak Merek, Hak Paten dan Hak Cipta yang bisa digunakan selama 10 tahun, sejak tanggal pendaftaran.
“Terima kasih untuk Pemerintah Provinsi Bali utamanya BRIPDA Bali dan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali yang sudah memberikan fasilitas kepada kami, para UMKM untuk semangat berkarya,” pungkasnya.
Untuk itu, Pemerintah Provinsi Bali melalui Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) Provinsi Bali bekerjasama dengan Kanwil Kemenkum HAM Provinsi Bali dan sentra-sentra Kekayaan Intelektual telah memfasilitasi pendaftaran Kekayaan Intelektual masyarakat Bali.
Apalagi, Pj.Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya sangat mengapresiasi kegiatan pendaftaran sertifikat HAKI oleh masyarakat Bali, lantaran masyarakat Bali terkenal dengan adat istiadat, yang kaya akan seni budaya, tradisi dan kreativitas.
“Masyarakat Bali sangat kreatif dan edukatif dengan menghasilkan banyak hasil karya. Bahkan, saya kaget juga anak-anak yang masih usia sekolah bisa menjadi seorang inovator, itu sangat luar biasa,” terangnya.
Tak hanya itu, masyarakat Bali juga diakui sangat kreatif melalui hasil kerajinan tangan, tari-tarian tradisional hingga kuliner khas Bali yang semuanya merupakan aset berharga menjadi kebanggaan Bali, sehingga terkenal di kalangan masyarakat global.
Warisan karya cipta, seni dan tradisi berciri khas Bali perlu mendapatkan perlindungan, sehingga Pemerintah Provinsi Bali sangat mendukung perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) masyarakat Bali, baik itu dalam bentuk Hak Cipta, Hak Merek, Hak Paten dan Indikasi Geografis (IG) maupun bentuk perlindungan lainnya.
“Dengan adanya HAKI, pencipta memiliki Hak Eksklusif atas ide, inovasi atas kreasi mereka. Hal tersebut menghindari mereka dari tindakan plagiat atau penggunaan karya tanpa izin, sehingga mereka bisa aman untuk terus berkarya,” paparnya.
Disebutkan, dalam kurun waktu 2019-2024, Pemerintah telah menerbitkan 425 sertifikat yang terdiri dari Kekayaan Intelektual Kepemilikan Komunal sebanyak 36 sertifikat terdiri dari 20 Sertifikat Ekspresi Budaya Tradisional (EBT), 11 Sertifikat Indikasi Geografis (IG), 3 Sertifikat Pengetahuan Tradisional (PT) dan 2 Sertifikat Sumber Daya Genetik (SDG).
“Selain itu, Kekayaan Intelektual Kepemilikan Personal sebanyak 389 sertifikat, terdiri dari 291 Sertifikat Hak Cipta, 3 Sertifikat Hak Paten dan 95 Sertifikat Hak Merek,” kata Mahendra Jaya. (*).
Daerah
Kepala Desa di Luwu Diminta Setor Rp4,5 Juta untuk Bimtek Stunting, Publik Pertanyakan Transparansi
LUWU – Pelaksanaan Bimbingan Teknis (Bimtek) bertema Percepatan Penurunan Stunting Desa se-Kabupaten Luwu Tahun 2024 menuai kontroversi. Program ini yang dikelola oleh PT Putri Dewani Mandiri atas persetujuan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Luwu, membebankan biaya Rp.4,5 juta per desa.
Ketua Forum Pemerhati Pemerintahan Desa dan Kelurahan (FP2KEL), Ismail Ishak, mengkritisi kebijakan tersebut. “Biaya yang dihimpun dari 207 desa mencapai ratusan juta rupiah. Namun, efektivitas kegiatan ini diragukan karena banyak prioritas lain yang lebih mendesak untuk desa,” ujar Ismail. Ia juga menyebut kegiatan ini tidak sesuai dengan amanat Peraturan Desa Nomor 13 Tahun 2023 yang mengutamakan intervensi berbasis kebutuhan lokal.
Kritik ini diperkuat oleh beredarnya surat undangan bertanggal 5 Desember 2024, yang meminta setiap desa menyetorkan dana Rp4,5 juta melalui rekening PT Putri Dewani Mandiri. Namun, pihak penyelenggara membantah isu tersebut.
“Biaya ini tidak besar jika dibagi per peserta. Lima orang dari setiap desa mengikuti Bimtek, artinya rata-rata hanya Rp900 ribu per peserta. Ini investasi untuk pemahaman mereka terkait program stunting,” ujar Andi Hamzah, Bendahara PT Putri Dewani Mandiri.
Meski demikian, transparansi penggunaan anggaran menjadi sorotan. Beberapa kepala desa mempertanyakan apakah biaya tersebut sejalan dengan manfaat yang diperoleh.
DPMD Luwu Bungkam
Hingga berita ini diturunkan, Kepala DPMD Luwu, Kasmaruddin, belum memberikan pernyataan resmi terkait tudingan publik. Pelaksanaan Bimtek ini dijadwalkan berlangsung pada 13–17 Desember 2024 di Aula Bappeda Luwu dan Kota Palopo.
Tantangan Penurunan Stunting
Luwu memiliki 207 desa yang terlibat dalam program ini. Penurunan angka stunting memang menjadi prioritas nasional, tetapi pengalokasian dana desa untuk Bimtek dinilai kurang tepat. Beberapa pihak mendesak agar kegiatan seperti ini diselaraskan dengan kebutuhan lokal dan difokuskan pada solusi konkret di lapangan.
Program ini kini menjadi ujian bagi pemerintah daerah untuk menjawab kritik publik, memastikan akuntabilitas, dan membangun kepercayaan masyarakat terhadap penggunaan anggaran desa. (SRF/red)
-
Mangku Bumi5 years ago
HIDUP DHARMA
-
News9 months ago
Diduga Gelapkan Dana Ratusan Calon Pekerja Migran, Pengusaha Ibukota Diajukan Ke Meja Hijau
-
News2 years ago
Geger!! Siswi Kelas 2 Smp Ditemukan Gantung Diri Di Kandang Sapi
-
News10 years ago
Post Format: Gallery
-
News3 years ago
Kasus Ungasan, Orang Misterius Hadir ditengah Upacara sebut Kutukan Telah Jalan
-
Daerah4 years ago
Jangan Sampai Jadi Pemangku Tanggung, Ikuti Kursus Kepemangkuan Disini!
-
Mangku Bumi6 years ago
Mengenal lebih dekat Sareng Ide Sire Empu Dharma Sunu dari Griya Taman Pande Tonja Denpasar
-
Daerah4 years ago
Miris! Nusa Dua Tampak Seperti Abandoned City