Pariwisata dan Budaya
Yayasan BPJ Dorong Pembahasan Air Secara Sekala dan Niskala di Acara WWF, Ketengahkan Konsep Sad Kerti Loka

TABANAN – Air dalam budaya masyarakat Bali bukan sebatas fungsi air secara nyata (sekala), tetapi juga air sebagai tirta (Bhatara) yang wadahnya (situs) di alam adalah gunung, hutan, danau, sawah, bumi, dan laut, sebagaimana yang termuat di dalam lontar Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul. Demikian mengemuka dalam sebuah diskusi yang berlangsung di Taman Jro Dukuh, Tabanan, Rabu (15/05/2024) malam.
Diskusi yang khusus membahas air dalam peradaban masyarakat Bali itu diinisiasi oleh Yayasan Bhakti Pertiwi Jati (BPJ) bersama Komunitas Batur Awidya dan Komunitas Kawala Ranu serta para Pemangku pengempon-pengempon Beji di sepanjang aliran sungai di daerah Tabanan. Hadir pula dari generasi muda Jro Subamya, Penglingsir Jro Pandak Gede yang juga sebagai Pengempon Pura Pekendungan, dan Ratu Baghawan Agra Sagening dari Griya Busung Megelung
“Diskusi ini sengaja kami gelar untuk menyambut gelaran World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali yang akan berlangsung tanggal 18 – 25 Mei 2024,” ujar Ketua Yayasan BPJ, Jro Mangku Made Sara Yoga Semadi, usai diskusi tersebut.
Mangku Made, sapaan akrabnya, menjelaskan, dalam sebuah pustaka kuno yang berjudul Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul, tertuang sebuah ajaran yang disebut dengan Sad Kerti Loka. Adapun bagian-bagian dari Sad Kerti Loka itu meliputi: Wana pakerti, Giri pakerti, Sagara pakerti, Ranu pakerti, Swi pakerti, dan Jagat pakerti. Sad Kerti Loka bermakna enam daya upaya manusia untuk mewujudkan keberlangsungan kehidupan dunia ini. Bagaimana menjaga kelestarian wana (hutan), giri (gunung), segara (laut), ranu (danau), swi (persawahan), dan jagat (keseluruhan kehidupan di bumi).
“Berpegang pada isi Sad Kerti Loka ini, jika dimaknai secara lebih mendalam, sebetulnya kita dipesankan oleh leluhur untuk menjaga kelestarian kondisi alam tersebut yang menjadi penampungan atau wadah air yang ada di planet Bumi. Bahwa hutan, gunung, laut, danau, sawah, semua itu adalah wadah-wadah yang telah disediakan oleh Sang Pencipta untuk menjadi tempat penyimpanan air di Bumi secara alami,” paparnya.

Diskusi yang khusus membahas air dalam peradaban masyarakat Bali yang diinisiasi oleh Yayasan Bhakti Pertiwi Jati (BPJ) bersama Komunitas Batur Awidya dan Komunitas Kawala Ranu serta para Pemangku pengempon-pengempon Beji di sepanjang aliran sungai di daerah Tabanan
Lebih lanjut dalam lontar Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul itu, upaya menjaga Sad Kerti Loka dari sisi niskala atau keagamaan, dijaga dengan melakukan upacara di enam pura di Bali, yang disebut dengan Sad Kahyangan. Upacara ritual Wana kerti, dipusatkan di Pura Watukaru. Ritual Giri kerti dipusatkan di Pura Basukihan, Segara kerti dipusatkan di Pura Dalem Sakenan. Adapun Ranu kerti dilaksanakan di Pura Watu Klotok, Swi kerti digelar di Pura Pakendungan, dan terakhir Jagat kerti dilaksanakan di Pura Air Jeruk.
Mengutip tulisan Sugi Lanus, yang bersumber pada Prasasti, Mangku Made menguraikan, bahwa pada tahun 1011, tepatnya di Desa Air Hwang (sekarang Desa Abang) di tepi Danau Batur, raja ketika itu telah mengeluarkan larangan penebangan kayu yang tegas, rinci, dan sistematik. Istilah kayu larangan muncul dalam beberapa prasasti periode itu, rincian kayu terlarang (kayu yang dilindungi kerajaan) sebagai berikut: Kemiri, Bodhi, Sekar Kuning, Waringin, Puntaya, Mendeng, Kamalagi, dan Lumbung. Juga disebut Jeruk, Wunut (Bunut), dan Ano.
Untuk urusan pelarangan penebangan kayu dan pengaturannya ditunjuk Hulu Kayu, bersama juru tulis khusus (manyuratang atau penulisan). Salah satu dari Senapati Kuturan pernah memegang jabatan ini sebagai Hulu Kayu, nama beliau sebelum menjadi Senapati Kuturan adalah Dyah Kayup.
Raja-raja Bali abad ke-10 sampai abad ke-12 punya kesadaran tinggi terhadap penyelamatan hutan dan danau. Kawasan ini menduduki posisi teramat penting untuk membangun peradaban. Dalam bilah-bilah prasasti tembaga yang ditemukan desa-desa peminggir danu lainnya, yang dikeluarkan periode itu, jelas tertulis aturan pemanfaatan lahan sekitar danau.
“Masyarakat Bali Kuna punya sebuah zoning,” imbuh Mangku Made.
Disebutkan secara rinci pembagian antara lahan pertanian, ladang rumput untuk makanan ternak dan lahan kayu untuk pertukangan. Juga disebut daerah untuk pembenihan dan penyilangan kuda beserta pajak yang dikenakan. Mereka tahu kalau beberapa jenis rumput untuk ternak bisa mengalahkan resapan akar pohon-pohon. Pohon-pohon sekitar danau lambat laun akan mengering kalau di areal yang sama ditamani rumput-rumput untuk makanan ternak yang sifatnya menyerap air sangat tinggi.
Kearifan lokal Bali tersebut telah tercatat semenjak abad 10 para pemimpin di Bali (raja) sudah mempunyai kesadaran menjaga alam Bali dengan membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak pada penyelamatan lingkungan. Yayasan Bhakti Pertiwi Jati berharap hal itu bisa dipetik untuk menjadi pegangan kepada para peserta WWF ke-10 di Bali dalam upaya mewujudkan pelestarian air di Bumi.
“Intinya, bahwa air akan tetap melimpah di alam manakala sumber air dan wadah air serta aliran air dari gunung sampai ke laut yang ada tetap lestari. Sudah seharusnya nilai-nilai kearifan lokal Bali tersebut kembali diadopsi dewasa ini dalam upaya mewujudkan Bumi yang berkelanjutan,” tandasnya.

Ketua Yayasan BPJ, Jro Mangku Made Sara Yoga Semadi dalam diskusi yang khusus membahas air dalam peradaban masyarakat Bali
Hadirkan Solusi
Saat ini, krisis air di dunia nyata terjadi di tengah-tengah masyarakat. Bali pun menghadapi ancaman krisis air, mengingat semakin menyusutnya kuantitas dan kualitas air yang ada di sumber-sumber air yang tersebar di Pulau Bali. Yayasan Bakti Pertiwi Jati (BPJ) pun berpandangan, sangat mungkin sekali menggunakan acuan sastra mengenai Sad Kerti Loka dan Prasasti-Prasasti di Bali tersebut sebagai dasar membangun atau mengawali gerakan tentang penyelamatan wadah air di muka Bumi ini.
“Solusi yang kami usulkan untuk masalah sumber daya air yang dihadapi penduduk Pulau Bali saat ini akan didasarkan pada pemahaman mendalam kami tentang ajaran filosofis Tri Hita Karana dan Sad Kerti Loka yang terdiri dari pendekatan skala dan niskala,” kata Ketua BPJ, Jro Mangku Made Sara Yoga Semadi, sembari menguraikan solusi dimaksud.
Pendekatan pertama, Yayasan BPJ ingin melibatkan para pemuda Bali dalam kegiatan yang bertujuan untuk memulihkan daerah penampungan air alami, yang disebut sebagai wadah dalam Sad Kerti Loka. Ini akan dilakukan dengan menanam kembali ke enam titik suci, termasuk area pegunungan, lereng sekitar danau, dan tepi sungai.
Jenis pohon yang dipilih untuk ditanam akan mencakup beberapa varietas lokal asli Bali, seperti yang termuat dalam prasasti tersebut di atas: kemiri, bodhi, sekar kuning, waringin, puntaya, mendeng, kamalagi, dan lumbung. juga disebut jeruk, wunut (bunut) dan ano, canging, dan lainnya, yang direkomendasikan oleh leluhur sebagai tanaman pelindung air.
“Di daerah dengan medan yang lebih curam, di mana tanahnya condong dengan kemiringan melebihi 30 derajat, kami akan menanam kembali jenis bambu terkenal dari Bali, yaitu bambu tabah dan bambu petung,” ujarnya.
Pendekatan kedua, lanjut Mangku Made, melibatkan pembangunan fasilitas penampungan air buatan di seluruh desa di Pulau Bali. Reservoir air bawah tanah ini akan dibangun di bawah jineng setiap desa. Air yang terkumpul di fasilitas bawah tanah ini akan dimiliki secara eksklusif oleh warga desa, yang dapat memperluas fasilitas jika mereka membutuhkan lebih banyak penyimpanan. Setiap kepala desa akan menerima sistem pengumpulan dasar yang sama, sistem pompa, dan sistem penyaringan atau filtrasi air.
Pendekatan ketiga, khusus dirancang untuk wilayah pengembangan pariwisata dengan kerapatan tinggi tetapi tidak memiliki sumber air alami karena kondisi tanah karakteristiknya. Ini termasuk area seperti Nusa Dua, Jimbaran, Kuta, Seminyak, dan Desa Canggu, di mana Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM) mereka saat ini mengandalkan sumber air bersih dari sistem air Subak di Tabanan.
“Solusinya adalah membangun sistem penyimpanan air besar,” imbuhnya. (*)

Pariwisata dan Budaya
I Gede Sujana, Arsitek Inovasi Budaya & Kemewahan di Royal Ambarrukmo Yogyakarta

Yogyakarta – Royal Ambarrukmo Yogyakarta, hotel ikonik yang melekat dengan sejarah dan budaya Jawa, terus menciptakan terobosan di dunia perhotelan mewah. Di tengah transformasi fasilitas dan penyempurnaan layanan, Royal Ambarrukmo kini juga memperkuat peran sosialnya melalui berbagai inisiatif berkelanjutan.
Salah satu program unggulannya adalah tukar sampah dengan pangan sehat, yang menjadi bukti nyata komitmen hotel dalam mendukung pengelolaan sampah dan pemberdayaan masyarakat lokal. Inovasi-inovasi ini hadir berkat kepemimpinan inspiratif dari I Gede Sujana, General Manager yang resmi menjabat sejak April 2025.
Jejak Karier Penuh Dedikasi
Lahir di Bali, I Gede Sujana memiliki rekam jejak panjang di industri perhotelan. Karier manajerialnya dimulai sebagai General Manager Fairfield by Marriott Belitung pada 2016, dilanjutkan ke Four Points by Sheraton Makassar pada 2018, hingga memimpin Sheraton Mustika Yogyakarta Resort & Spa pada 2022. Kini, ia memegang kendali di Royal Ambarrukmo Yogyakarta dengan visi menyelaraskan kemewahan dan kearifan lokal.
Harmoni Kemewahan dan Budaya
Di bawah arahannya, Royal Ambarrukmo Yogyakarta tampil sebagai rumah kedua bagi para tamu, menggabungkan sentuhan modern dengan kekayaan budaya Jawa yang autentik. Bagi Sujana, hospitality bukan sekadar layanan, tapi seni menghadirkan pengalaman yang menyentuh — dari arsitektur, kuliner tradisional, keramahan staf, hingga nilai budaya yang hidup dalam setiap sudut hotel.
Bergerak Bersama Komunitas
Komitmen terhadap Sustainable Development Goals menjadi prioritas Sujana dalam menjalankan strategi hotel. Dengan menggandeng komunitas lokal, Royal Ambarrukmo memperkuat peran industri perhotelan sebagai penggerak pariwisata yang inklusif dan ramah lingkungan.
Kepemimpinan yang Membumi dan Visioner
Tak hanya memimpin operasional harian, Sujana juga membangun budaya kerja yang kolaboratif, inovatif, dan berbasis pembelajaran berkelanjutan. Di tangannya, Royal Ambarrukmo tidak hanya mempertahankan standar tinggi layanan, tetapi juga memperkuat posisinya sebagai simbol hidup dari kemewahan yang berpadu dengan warisan budaya.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Royal Ambarrukmo Yogyakarta di (0274) 488 488, kunjungi Instagram @royalambarrukmo, atau akses situs resminya di www.royalambarrukmo.com.
“Kembali ke Jantung Budaya, Menginaplah di Legenda.”
#RoyalAmbarrukmo #LivingLegend #LuxuryMeetsCulture
Pariwisata dan Budaya
Investasi Ilegal WNA Rugikan Bali, Dr. Panudiana Kuhn Desak Penertiban Menyeluruh

DENPASAR — Fenomena pelanggaran hukum yang dilakukan warga negara asing (WNA) di sektor pariwisata Bali menuai sorotan tajam dari Dr. Panudiana Kuhn, Ketua Pembina Apindo Bali sekaligus pengusaha senior yang lama bergelut di industri lokal. Ia menilai praktik-praktik bisnis gelap yang kian marak bukan hanya menggerus pendapatan pajak daerah, tetapi juga mengancam kelangsungan usaha milik warga lokal.
Menurut Dr. Kuhn, modus operandi yang kerap terjadi adalah penyewaan vila oleh WNA yang kemudian kembali disewakan kepada sesama WNA secara diam-diam dari luar negeri, tanpa jejak administratif, tanpa izin usaha, dan tentu tanpa kontribusi pajak. Lebih lanjut, ia mengungkap bahwa banyak transaksi jual beli properti dilakukan menggunakan mata uang asing dan dibayarkan di luar negeri—sebuah pelanggaran serius yang luput dari pantauan otoritas.
“Ironisnya, pemerintah Bali bahkan tidak memiliki data pasti soal jumlah vila yang disewakan tiap tahun, padahal pungutan keamanan dari pecalang terus berjalan,” ujarnya.
Ia menyerukan agar aparat pemerintah, mulai dari dinas hingga imigrasi dan kepolisian, tidak hanya menunggu laporan masyarakat, tetapi aktif melakukan inspeksi ke lapangan. Setiap usaha ilegal harus ditindak tegas—dengan jalan legalisasi melalui SIUP dan NPWP, atau penutupan permanen.
“Persaingan bisnis saat ini tidak sehat. Warga lokal terdesak oleh kekuatan modal asing yang tidak bermain sesuai aturan. Ini harus dihentikan,” tegasnya.
Kuhn juga menyoroti ketidakjelasan implementasi program Golden Visa 10 tahun yang memungkinkan WNA memiliki vila senilai miliaran rupiah serta hak pakai tanah hingga 80 tahun. Ia menilai regulasi yang longgar membuat konflik antara pemodal besar dan pemilik lokal semakin sering terjadi.
“Bila Bali ingin tetap menjadi destinasi wisata yang berkelanjutan dan adil, maka penegakan hukum terhadap bisnis ilegal WNA bukan lagi pilihan—melainkan kewajiban mendesak,” pungkasnya. (Ray)
Pariwisata dan Budaya
Bayangan Gelap di Surga, Ketika Bali Kehilangan Pemasukan dari Pariwisata Ilegal

BADUNG – Di balik citra glamor dan keindahan Pulau Dewata, terselip sebuah ironi yang menggerogoti perekonomian lokal. Banyak wisatawan asing datang ke Bali, namun tidak tercatat menginap di hotel atau vila resmi. Ternyata, sebagian besar dari mereka memilih akomodasi alternatif seperti vila pribadi atau rumah kos milik warga lokal yang belum memiliki izin operasional lengkap.
Tak hanya itu, marak pula praktik ilegal di mana Warga Negara Asing (WNA) menyewa vila secara daring dan menyewakannya kembali kepada kolega sesama WNA, bahkan sebelum mereka sendiri menempatinya. Aktivitas ini kerap terjadi di luar pengawasan pemerintah dan menghindari kewajiban pajak yang seharusnya dibayarkan.
Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana, Prof. Dr. Drs. I Putu Anom, B.Sc., M.Par., mengungkapkan perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap properti-properti yang disewakan kepada orang asing, baik berupa vila, rumah pribadi, maupun bentuk akomodasi lainnya.
“Pernah terjadi kasus di Seminyak di mana seorang tamu asing tinggal melebihi masa izin tinggalnya hingga menyebabkan keributan besar, bahkan menewaskan seorang anggota polisi. Mirisnya, vila tersebut ternyata tidak memiliki izin legal,” ungkap Prof. Anom saat dihubungi, Sabtu (10/5/2025).
Ia juga menyoroti keberadaan guest house mewah dan rumah kos elite yang kerap luput dari pengawasan pajak. Meskipun dimiliki oleh warga lokal, bentuk bisnis ini tak terklasifikasi sebagai akomodasi resmi, sehingga pendapatannya tidak dikenakan pajak hotel dan restoran.
“Bayangkan satu kamar disewakan seharga Rp2–3 juta. Jika ada 10 kamar, bisa menghasilkan Rp30 juta tanpa perlu promosi. Semua langsung masuk ke kantong pribadi, sementara daerah tidak memperoleh apa pun,” tegasnya.
Prof. Anom juga menyoroti praktik pembelian tanah oleh WNA yang memanfaatkan nama warga lokal sebagai perantara melalui akta notaris. Setelah membangun vila di atas tanah tersebut, mereka kemudian menyewakannya kepada turis asing lainnya. Keuntungan pun langsung dinikmati pemilik modal asing, sementara warga lokal hanya menjadi nama di atas kertas.
“Fenomena ini jelas menyebabkan potensi pajak daerah yang sangat besar tidak masuk ke kas negara,” tambahnya.
Untuk itu, ia menyarankan agar desa adat maupun desa dinas dilibatkan aktif dalam pengawasan akomodasi di wilayahnya. Karena mereka yang paling mengetahui siapa pemilik dan penyewa properti di daerah masing-masing, serta dapat melakukan pencatatan rutin untuk memastikan semua berjalan sesuai aturan.
Sebagai penutup, Prof. Anom juga menyinggung soal kebijakan Golden Visa dan retirement visa, yakni visa pensiun yang memungkinkan warga asing tinggal dalam jangka panjang di Indonesia. Menurutnya, kebijakan tersebut perlu dikaji ulang agar tidak membuka celah baru bagi penyalahgunaan izin tinggal untuk kepentingan bisnis ilegal. (Ray)
-
Mangku Bumi6 years ago
HIDUP DHARMA
-
News1 year ago
Diduga Gelapkan Dana Ratusan Calon Pekerja Migran, Pengusaha Ibukota Diajukan Ke Meja Hijau
-
News2 years ago
Geger!! Siswi Kelas 2 Smp Ditemukan Gantung Diri Di Kandang Sapi
-
News10 years ago
Post Format: Gallery
-
Daerah5 years ago
Jangan Sampai Jadi Pemangku Tanggung, Ikuti Kursus Kepemangkuan Disini!
-
News3 years ago
Kasus Ungasan, Orang Misterius Hadir ditengah Upacara sebut Kutukan Telah Jalan
-
Mangku Bumi7 years ago
Mengenal lebih dekat Sareng Ide Sire Empu Dharma Sunu dari Griya Taman Pande Tonja Denpasar
-
Daerah4 years ago
Miris! Nusa Dua Tampak Seperti Abandoned City