Connect with us

Nasional

Leo Bakal Dikriminalisasi Lagi, Fachrul Razi Mensinyalir Pelapor dan Bareskrim Polri Main Duit

Published

on


GATRA DEWATA | JAKARTA | Malang benar nasib salah satu direktur PT. Kahayan Karyacon, Leo Handoko. Belum selesai menjalani rangkaian persidangannya atas kasus kriminalisasi jilid I oleh oknum penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Mabes Polri [1], kini pria berusia 40 tahun itu sudah mendapat panggilan lagi untuk proses lidik oleh Dittipideksus. Undangan menghadap ke penyidik Subdit IV Dittipideksus, AKBP Suprana, SH, MH, telah diterima Leo Handoko beberapa waktu lalu.

Perlu diinformasikan bahwa Leo Handoko, bersama tiga direksi lainnya, dilaporkan oleh Komisaris Utama PT. Kahayan Karyacon, Mimihetty Layani, ke Bareskrim Mabes Polri pada tahun 2019 lalu atas tuduhan melanggar pasal 263 dan 266 tentang pemalsuan dokumen (akta notaris perusahaan -red). Proses kriminalisasi terhadap Leo mulai berjalan serius pada pertengahan tahun 2020 lalu, dan sejak September 2020 Leo resmi ditahan di Rutan Bareskrim Polri. Kasus kriminalisasi atas Leo itu kemudian bergulir ke PN Serang, Banten, sejak awal Januari 2021 [2]. Jadwal pembacaan putusan hakim atas perkara yang seharusnya berlangsung Kamis, 3 Juni 2021 lalu [3], akhirnya diundur ke hari Kamis, 10 Juni 2021 mendatang.

Beberapa minggu menjelang pembacaan putusan, rupanya Mimihetty Layani telah membuat laporan baru di Bareskrim Polri dengan terlapor Leo Handoko, bersama tiga direksi lainnya, yakni Chang Sie Fam (ayah Leo Handoko), Feliks dan Ery Biaya (keduanya abang Leo Handoko). Oleh sipelapor Mimihetty Layani, yang notabene istri dari Sodomoe Mergonoto (pemilik perusahaan Kopi Kapal Api – red) [4], Leo Handoko, dan kawan-kawan dituduh melakukan tindak pidana penggelapan dalam jabatan dan tindak pidana pencucian uang.

Seperti halnya laporan orang berduit pada umumnya, laporan Mimihetty Layani segera mendapat sambutan hangat dengan mata menghijau dari para oknum di Bareskrim Polri. Permufakatan untuk program kriminalisasi jilid II atas Leo, dkk pun segera disusun, dan panggilan menghadap ke penyidik telah dilayangkan ke alamat para terlapor. Disebut sebagai program kriminalisasi karena kasus ini hakekatnya adalah perkara perdata, perselisihan antara dewan direksi dan dewan komisaris, yang kemudian dicari-cari pasal di KUHPidana untuk kemudian menjerat para terlapor. Walau tanpa alat bukti sedikitpun, para oknum penyidik yang sangat ahli itu dapat dengan ringan tanpa hati berkata: “Nanti dibuktikan di persidangan saja” [5].

Ketika fenomena hukum atas Leo Handoko tersebut disampaikan kepada Ketua Komite I DPD-RI, H. Fachrul Razi, SIP, MIP, Senator dari Aceh itu hanya berkomentar singkat, “Mereka main duit” [6]. Siapa yang main duit? Publik sudah amat paham, siapa lagi kalau bukan pelapor dan para oknum yang dilapori?

Terhadap sinyalemen Ketua Komite I DPD-RI itu, para pejabat di lingkungan Polri masih diam seribu bahasa. Setelah ditunggu lebih dari 24 jam, hingga berita ini naik tayang, belum satupun di antara mereka memberikan jawaban atas permintaan komentar terhadap tudingan Fachrul Razi itu. Whisnu Hermawan Februanto yang menjabat Wakil Direktur Tipideksus Bareskrim Polri hanya merespon pesan WA media ini dengan mengirimkan nomor kontak Kasubdit IV Dittipideksus [7]. Wadir berpangkat Komisaris Besar Polisi yang menandatangani surat pemanggilan Leo Handoko, dkk itu tidak memberikan komentar apapun terkait ucapan Senator DPD-RI tersebut.

Sementara itu, Ketua Umum PPWI Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, menyatakan sangat prihatin dengan kondisi lembaga penegak hukum Kepolisian Republik Indonesia. Menurut Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 ini, moral para petugas yang diberikan kewenangan melakukan penegakan hukum di institusi Polri itu, umumnya sangat rapuh dan tidak terpuji untuk ukuran pengemban profesi polisi. Lalengke menyitir pernyataan Salim Said beberapa waktu lalu yang mengatakan, “… Tuhan pun (mereka) tidak ditakuti” [8].

Lalengke menjelaskan bahwa kasus pemerasan dan pemalakan yang dilakukan penyidik Dittipideksus, AKBP Dr. Binsan Simorangkir, SH, MH, terhadap Leo Handoko, dkk di program kriminalisasi jilid pertama terhadap mereka adalah contoh real, faktual, dan aktual [9]. “Kasus sipemalak Binsan itu sesungguhnya hanyalah setitik salju di puncak gunung es yang mengambang di lautan luas. Badan gunung es yang luar biasa besarnya justru tidak terlihat, tidak terendus, tenggelam dalam sistem korup berjamaah yang sedang bercokol dalam lautan hitam dan kotor di lembaga tersebut,” beber lulusan program pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, England, ini dengan mimik prihatin.

_Hepeng mangator nagara on_ (uang mengatur negara ini). Mungkin itulah yang ada dalam benak penyidik bergelar doktor bidang hukum Binsan Simorangkir bersama gerombolan se-aliran se-jamaah korupnya itu. Bagaimana tidak? Dengan tanpa perasaan sama sekali, yang bersangkutan memalak para terlapor Leo Handoko, dkk senilai Rp. 200 jutaan yang digunakan membangun ruko tiga pintu di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. Pun, yang bersangkutan juga memeras Notaris Ferry Santosa Rp. 10 juta rupiah ketika melakukan penggeledahan di kantor notaris pembuat Akta PT. Kahayan Karyacon itu [10].

Tidak hanya penyidik Binsan, Kombespol Victor Togi Tambunan, SH, SIK juga kecipratan Rp. 20 juta atas perintah Binsan Simorangkir kepada Leo Handoko, dkk untuk menyetorkan dana ke atasannya yang saat itu menjabat Kasubdit IV Dittipideksus [11]. Pertanyaan liar publik, apakah mungkin hanya Binsan Simorangkir dan Togi Tambunan yang terindikasi melakukan pemerasan dan pemalakan melalui modus kriminalisasi (kasus perdata dipidanakan) dalam kasus Leo Handoko dkk versus Mimihetty Layani? Jika penyidik beserta Kasubditnya mendapat angpaw dari para pihak yang berperkara di kisaran 200-an juta, berapa kira-kira yang diraup oleh pihak terkait lainnya di lingkaran perkara itu? Jika Leo Handoko, dkk sebagai pesakitan saja bisa dengan mudah diperas dan/atau dipalak oleh oknum-oknum itu, mungkinkah Mimihetty Layani sebagai pelapor tidak memberikan kontribusi angpaw kepada para oknum terkait perkara tersebut? Wallahualam Bissawab…

Kembali ke persoalan pemanggilan Leo Handoko, dkk atas laporan kedua Mimihetty Layani, Lalengke mengatakan bahwa dirinya sependapat dengan Ketua Komite I DPD RI, H. Fachrul Razi. Tuduhan serius tentang penggelapan dalam jabatan, ujar tokoh pers nasional ini, adalah pasal yang dicari-cari dan dipaksakan oleh pelapor dan diaminkan oleh oknum Bareskrim Polri. Laporan Mimihetty dapat dengan mudah melenggang masuk Bareskrim dan ditangani oleh subdit yang sama dengan laporan pertama, memunculkan banyak pertanyaan.

“Pertanyaan mendasar adalah bagaimana mungkin mengetahui adanya tindak pidana penggelapan, apa yang digelapkan, berapa volume benda atau uang yang digelapkan, dan lain-lainnya ketika kedua organ perusahaan, yakni dewan direksi dan komisaris belum melakukan Rapat Umum Pemegang Saham atau RUPS sebagai organ ketiga sebuah perseroan yang berwenang menentukan adanya rugi-laba perusahaan? Ini aneh sekali,” kata Wilson Lalengke yang merupakan mantan Kasubbid Program pada Pusat Kajian Hukum Sekretariat Jenderal DPD-RI ini.

Namun, itulah unik dan canggihnya para oknum di unit Dittipideksus Bareskrim Mabes Polri. Segala cara dihalalkan untuk mencapai tujuan dan/atau mewujudkan keinginannya. “Rekayasa kasus di satuan kerja Polri itu bukanlah hal baru dan tabu. Oknum-oknum berseragam coklat di institusi ini telah lihai dan berpengalaman melakukan rekayasa ‘yang benar jadi salah, yang salah jadi benar’. Semuanya tergantung pada kepentingan pemesan perkara,” tutur Presiden Indonesia Sahara Maroko (Persisma) ini dengan perasaan masgul. (APL/Red)

*Catatan:*

[1] Nasib Direksi Kahayan Karyacon: Dari Rekayasa Kasus, Dakwaan Ngibul, Hingga Tuntutan Ngawur; (klik link)

[2] Kuasa Hukum Leo Handoko Ajukan Eksepsi Atas Dakwaan Jaksa;(klik link)

[3] Menanti Keputusan dari (Bukan) Tuhan;(klik link)

[4] Anak dan Istrinya Difitnah, Bos Kapal Api Marah;(klik link)

[5] Kalimat “Nanti dibuktikan di persidangan saja” semacam ini juga diucapkan Wadir Dittipideksus, Kombespol Whisnu Hermawan Februanto, yang saat itu didampingi Kombespol Helfi Assegaf, kepada Tim Cacing tanah PPWI saat diundang audiensi oleh Dittipideksus Bareskrim Polri terkait kasus kriminalisasi Leo Handoko, bertempat di ruang kerja Dittipideksus, Selasa, 1 Desember 2020. Pernyataan itu terucap oleh yang bersangkutan ketika membahas Leo Handoko yang sudah ‘terlanjur’ di-P21 oleh penyidik Binsan Simorangkir dan Kejari Serang.

[6] Pernyataan Ketua Komite I DPD RI, H. Fachrul Razi, MIP ini disampaikan melalui percakapan tertulis di aplikasi WhatsApp kepada Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, Sabtu, 5 Juni 2021 pukul 15.20 wib.

[7] Respon singkat berbentuk kiriman nomor kontak Kasubdit IV Dittipideksus dari Wadir Tipideksus Bareskrim Polri ini disampaikan melalui percakapan tertulis di aplikasi WhatsApp kepada Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, Senin, 7 Juni 2021 pukul 13.37 wib.

[8] Salim Said: Negeri Ini Tidak Maju karena Tuhan Tidak Ditakuti;(klik link)

[9] Pak Kapolri, AKBP Binsan Simorangkir Palak Warga, Ini Hasilnya;(klik link)

[10] Miris..!!! Oknum Penyidik Bareskrim Polri Juga Peras Notaris 10 Juta Rupiah;(klik link)

[11] Kasus dugaan menerima uang Rp. 20 juta rupiah oleh Kasubdit IV Dittipideksus, Kombespol Victor Togi Tambunan, dari Leo Handoko, dkk atas perintah Binsan Simorangkir untuk memberikan uang 20 ribu (Rp. 20 juta – red) kepada atasannya, telah dimasukan dalam BAP saksi korban pada pemeriksaan kasus pemerasan dengan terlapor Binsan Simorangkir di Biro Pertanggung-jawaban Profesi Divpropam Mabes Polri beberapa waktu lalu.


Kebanggaan sebagai wartawan adalah selalu silahturahmi kepada semua pihak, tetap belajar dan selalu konfirmasi dalam pemberitaan yang adil dan berimbang.

Nasional

Anggota DPRP Papua Barat Daya Soroti Perilaku Bejat Pejabat dan Aparat: “Orang Asing Pencaplok Lahan Dibela, Masyarakat Adat Dibiarkan Merana

Published

on

By

Sorong, Papua Barat Daya — Pernyataan mengejutkan sekaligus menampar nurani bangsa datang dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi (DPRP) Papua Barat Daya, Roberth George Yulius Wanma, S.E., wakil rakyat dari jalur Otonomi Khusus utusan masyarakat adat Kabupaten Raja Ampat. Dengan nada penuh keprihatinan dan kemarahan, Roberth menyoroti perilaku sejumlah pejabat dan aparat negara yang disebut telah menggadaikan integritasnya kepada pemodal asing demi segepok rupiah, mengorbankan hak-hak masyarakat adat Papua di atas tanah leluhurnya sendiri.

Dalam video berdurasi hampir 3 menit yang diunggah pada Rabu (28/5/2025) di kanal YouTube Wilson Lalengke Official: https://youtu.be/bmjIWQ3YnR4, Roberth secara terbuka mengecam oknum pejabat pemerintahan, badan pertanahan, aparat penegak hukum, dan hakim pengadilan yang diduga kuat menjadi bagian dari praktik perampasan tanah masyarakat adat secara sistematis.

“Pejabat pemerintah, aparat, BPN, hakim-hakim kita hari ini tidak lagi membela masyarakat asli Indonesia. Mereka dengan mudah dibeli oleh orang asing,” tegas Roberth, Selasa, 27 Mei 2025.

Salah satu sorotan Roberth adalah terduga gembong mafia tanah bernama Paulus George Hung alias Ting-Ting Ho alias Mr. Chi, warga negara Malaysia berusia 73 tahun, yang diduga leluasa menguasai tanah masyarakat adat di Papua Barat Daya melalui kekuatan modal. Roberth menyebut bahwa aksi pencaplokan tanah oleh orang asing seperti ini tak mungkin terjadi tanpa dukungan oknum aparat dan pejabat lokal.

“Kita sebagai pemilik negeri ini malah disingkirkan. Hak-hak kita dihilangkan, tanah kita dijual diam-diam. Tapi orang asing—yang jelas-jelas bukan bagian dari republik ini—dibela mati-matian,” lanjut Roberth.

Ia juga menuding bahwa para pemangku kekuasaan di sektor pertanahan dan hukum lebih tunduk pada uang daripada pada konstitusi yang melindungi hak masyarakat adat atas tanah ulayatnya.

Pernyataan Roberth memperkuat desakan dari masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil yang selama ini mencurigai keberadaan mafia tanah terorganisir di wilayah Papua Barat Daya. Berbagai kasus sengketa tanah kerap diselesaikan secara tidak adil, dengan manipulasi dokumen, tekanan aparat, dan keputusan pengadilan yang memihak kepentingan pemodal.

Kondisi ini menciptakan ketimpangan hukum yang sangat mencolok—warga asli yang telah hidup turun-temurun justru tersingkir oleh mereka yang baru datang dengan uang dan koneksi.

Roberth Wanma menyerukan agar rakyat Papua Barat Daya bangkit mempertahankan hak-hak mereka. Ia juga meminta agar negara tidak tinggal diam terhadap kejahatan yang secara nyata menggerogoti kedaulatan tanah Papua.

“Jangan kita biarkan mereka yang datang dari luar seenaknya mengatur negeri ini. Ini tanah leluhur kita. Kita harus lawan! Negara tidak boleh diam,” serunya dengan lantang.

Ia juga mendesak Presiden Republik Indonesia dan jajaran pemerintah pusat untuk segera mengaudit total BPN, mengevaluasi kinerja aparat penegak hukum, serta menyapu bersih oknum-oknum yang menjual negara untuk kepentingan asing.

Pernyataan Roberth telah viral dan memicu reaksi luas, khususnya di kalangan aktivis agraria dan masyarakat adat Papua. Beberapa LSM bahkan sudah mulai menyusun laporan resmi untuk diajukan ke Komnas HAM, Ombudsman RI, dan Kementerian ATR/BPN.

Mereka menuntut agar proses perampasan tanah segera dihentikan dan dilakukan pemulihan hak atas tanah ulayat yang sah milik masyarakat adat, serta mendesak pemberantasan mafia tanah secara tuntas hingga ke akar-akarnya dan.

Roberth George Yulius Wanma bukan sekadar menyampaikan kritik; ia menyuarakan kegelisahan kolektif rakyat Papua yang selama ini merasa menjadi warga kelas dua di negeri sendiri. Pernyataannya menjadi peringatan keras bahwa bila negara terus berpihak pada pemodal asing, maka lambat laun Papua bukan lagi rumah bagi anak-anak negerinya.

Kini saatnya pemerintah membuktikan bahwa kedaulatan Indonesia tidak bisa dibeli—bahwa tanah Papua bukan komoditas, tapi warisan yang harus dijaga dari tangan-tangan asing. (SAD/Red)

Editor: Syarif Al Dhin

Sumber Video: Channel Wilson Lalengke Official – Pernyataan Roberth G.Y. Wanma, S.E.

Continue Reading

Nasional

Pos Haslot Satgas Yonif 741/GN Berhasil Temukan Anak Hilang di Hutan Perbatasan Indonesia – Timor Leste

Published

on

By

Malaka – Pos Haslot Satgas Yonif 741/GN berhasil menemukan seorang anak yang hilang di hutan perbatasan RI-RDTL, tepatnya di Dusun Motamasin, Desa Alas Selatan, Kecamatan Kobalima Timur, Kabupaten Malaka, pada Senin (24/03/2025).

Kejadian bermula saat masyarakat setempat melaporkan hilangnya Yafin Gause (2 tahun), yang diduga tersesat saat berkebun bersama keluarganya di kawasan hutan perbatasan. Menanggapi laporan tersebut, anggota Pos Haslot yang dipimpin langsung oleh Danpos Sertu Rahmana Bintang Saputra bersama Batih SSK III Sertu Septian Tamara segera bergerak menuju lokasi untuk melakukan pencarian.

Tim pencari memulai penyisiran dari area kebun tempat terakhir korban terlihat, kemudian memperluas pencarian hingga ke hutan dan sekitar sungai. Setelah enam jam pencarian, Yafin akhirnya ditemukan dalam kondisi lemas di semak-semak dalam hutan. Korban segera dievakuasi dan diserahkan kepada keluarganya dalam keadaan selamat.

Atas keberhasilan tersebut, Kepala Desa Alas, Anselmus Korandus Ikun Berek, mewakili keluarga korban, menyampaikan rasa terima kasih kepada Satgas Yonif 741/GN atas respons cepat dan upaya penyelamatan yang dilakukan.

Sementara itu, Dansatgas Yonif 741/GN Letkol Inf Sy Gafur Thalib mengapresiasi tindakan sigap prajuritnya dalam operasi pencarian ini. Ia menegaskan bahwa setiap langkah yang diambil tetap memperhatikan faktor keamanan, baik bagi personel maupun materiel, serta selalu berkoordinasi dengan pihak terkait.(Tim)

 

“KERJA TUNTAS DI TAPAL BATAS”

“LAKSANAKAN TUGAS DENGAN TULUS DAN IKHLAS”

“GARUDA BERHASIL”

 

Continue Reading

Nasional

Terkait Uka-Uka, Ketum PPWI: Kegiatan Ilegal, Tanpa Dasar Hukum

Published

on

JAKARTA – Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, kembali menyoroti praktik sertifikasi jurnalis yang dikenal dengan istilah “uka-uka”. Menurutnya, kegiatan tersebut adalah ilegal karena tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Ia menegaskan bahwa hal ini hanyalah akal-akalan Dewan Pers bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) untuk memeras para wartawan.

“Uka-uka itu sesungguhnya kegiatan ilegal. Tidak ada dasar hukumnya. Sertifikasi profesi dan keahlian yang benar itu melalui Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Dasar hukumnya jelas tertulis dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP Nomor 23 Tahun 2004 yang sudah diperbarui dengan PP Nomor 10 Tahun 2018,” tegas Wilson dalam keterangannya.

Uka-Uka dan Kebodohan Hukum

Wilson juga menyebut bahwa aparat hukum yang seharusnya memahami peraturan malah tidak paham soal praktik uka-uka ini. Ia mengimbau masyarakat, khususnya wartawan, untuk tidak terjerumus dalam kebodohan yang disebabkan oleh ketidaktahuan mereka sendiri dan orang yang mengendalikan kegiatan tersebut.

“Jika Anda bekerjasama dengan orang yang tidak paham masalah uka-uka, maka Anda menjerumuskan diri ke dalam kubangan kebodohan. Anda sendiri tidak paham, ikut pula arahan orang yang tidak paham,” katanya.

Wilson meminta wartawan untuk membaca UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang hanya terdiri dari 21 pasal, untuk memahami bahwa praktik uka-uka tidak memiliki dasar di dalam undang-undang tersebut.

Perbandingan dengan Profesional Non Uka-Uka

Lebih lanjut, Wilson membandingkan hasil yang diperoleh pemegang sertifikasi uka-uka dengan para profesional di bidang jurnalistik seperti Karni Ilyas, Najwa Shihab, dan fotografer Darwis Triadi.

“Pemegang uka-uka hanya mendapatkan Rp50 ribu hingga maksimal Rp200 ribu dari kerjasama dengan pengusaha, pejabat, atau proyek. Sementara mereka yang tidak punya uka-uka, seperti Karni Ilyas, Najwa Shihab, dan lainnya, bisa mendapatkan puluhan hingga ratusan juta rupiah karena mereka punya portofolio, rekam jejak, dan kemampuan profesional yang diakui,” jelas Wilson.

Menurut Wilson, perbedaan ini mencerminkan pentingnya keahlian dan rekam jejak daripada sekadar mengandalkan sertifikasi yang tidak diakui secara hukum.

Imbauan kepada Wartawan

Wilson mengingatkan para wartawan untuk lebih kritis dan tidak mudah terbawa arus oleh praktik-praktik ilegal seperti uka-uka. “Cari tahu dan pahami aturan yang berlaku. Jangan malas membaca UU Pers dan menganalisa isinya. Itu langkah awal untuk menjadi wartawan yang profesional dan independen,” pesannya.

Penutup

Wilson berharap agar wartawan dan aparat hukum lebih memahami duduk perkara terkait uka-uka. Dengan pemahaman yang baik, praktik-praktik ilegal yang merugikan dunia jurnalistik dapat dihentikan.

“Semoga paham dan tidak bertanya lagi soal uka-uka yaa. Terima kasih,” tutupnya.

Continue Reading

Trending

Copyright © 22 Juni 2013 Gatradewata. Pesonamu Inspirasiku