Connect with us

Pariwisata dan Budaya

UN SMP PGRI 2 Denpasar, Siswa Kumpulkan Handphone

Published

on


Dr. Drs. I Gede Wenten Aryasuda, M.Pd., Kepala SMP PGRI 2 Denpasar memperlihatkan handphone anak-anak yang dititipkan di Pos Satpam sebelum mereka memasuki ruangan ujian

Dr. Drs. I Gede Wenten Aryasuda, M.Pd., Kepala SMP PGRI 2 Denpasar memperlihatkan handphone anak-anak yang dititipkan di Pos Satpam sebelum memasuki ruangan


GATRADEWATA – Siswa-siswi di SMP PGRI 2 Denpasar mengikuti Ujian nasional(UN) diawali dengan mengumpulkan Handphone sebelum memasuki ruangan ujian.

Di Sekolah ini, sebanyak 430 anak mengikuti UN. Dimana pihak sekolah, membagi dan menempatkan ke dalam 20 ruangan serta diawasi dua orang guru pengawas dari sekolah lain Sub Rayon 3.

“Rupanya anak sudah tahu bahwa tidak boleh membawa alat komunikasi sehingga banyak anak-anak tidak membawa hp,” kata Dr. Drs. I Gede Wenten Aryasuda, M.Pd. Senin, 9 Mei 2016.

Sedangkan untuk para pengawas, pihak sekolah telah melakukan pengarahan tentang POS UN kepada guru pengawas. Bahkan pihak sekolah melakukan hal tersebut tiga hari sebelumnya.

Hal tersebut menurut Aryasuda, untuk lebih menekankan para pengawas untuk melakukan tugasnya sesuai dengan POS UN, mengingat waktu untuk pengarahan UN cuma 20 menit sebelum dimulai.

“Sebelum UN juga kita juga tetap lakukan pengarahan kepada para guru pengawas,” jelasnya.

Pihak sekolah juga mempersiapkan siswa sejak bulan Agustus 2015, berupa pengayaan sebanyak dua kali dan tryout yang sebanyak dua kali juga.

Hasil tersebut, kata Aryasuda, dijadikan evaluasi untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menghadapi UN, kendatipun hasil dari ujian tersebut tidak menjadi penentu kelulusan.

“Kalau nilainya turun, maka inilah yang harus dibina, baik di sekolah sebagai pembina maupun orangtua siswa di rumah yang mengawasi. Ini adalah sinergi dan tidak bisa oleh sekolah saja,” terangnya.

Sementara terkait temuan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Bali di tingkat SMA/SMK, pihak sekolah menjadikan pedoman dan acuan dalam menjalankan UN tahun ini.

“Ini sudah kami lakukan dengan mengumpulkan hp, dan anak-anak sudah mengetahuinya sehingga banyak siswa yang tidak membawanya,” akhirnya.

Hari pertama Ujian Nasional di SMP PGRI 2 Denpasar berlangsung dengan lancar. Seluruh siswa, yakni sebanyak 430 anak hadir mengikuti UN dengan mengumpulkan handphone sebelum masuk ke ruangan.

alt


Advertisement

Pariwisata dan Budaya

Investasi Ilegal WNA Rugikan Bali, Dr. Panudiana Kuhn Desak Penertiban Menyeluruh

Published

on

By

Dr. Panudiana Kuhn, Ketua Pembina Apindo Bali

DENPASAR — Fenomena pelanggaran hukum yang dilakukan warga negara asing (WNA) di sektor pariwisata Bali menuai sorotan tajam dari Dr. Panudiana Kuhn, Ketua Pembina Apindo Bali sekaligus pengusaha senior yang lama bergelut di industri lokal. Ia menilai praktik-praktik bisnis gelap yang kian marak bukan hanya menggerus pendapatan pajak daerah, tetapi juga mengancam kelangsungan usaha milik warga lokal.

Menurut Dr. Kuhn, modus operandi yang kerap terjadi adalah penyewaan vila oleh WNA yang kemudian kembali disewakan kepada sesama WNA secara diam-diam dari luar negeri, tanpa jejak administratif, tanpa izin usaha, dan tentu tanpa kontribusi pajak. Lebih lanjut, ia mengungkap bahwa banyak transaksi jual beli properti dilakukan menggunakan mata uang asing dan dibayarkan di luar negeri—sebuah pelanggaran serius yang luput dari pantauan otoritas.

“Ironisnya, pemerintah Bali bahkan tidak memiliki data pasti soal jumlah vila yang disewakan tiap tahun, padahal pungutan keamanan dari pecalang terus berjalan,” ujarnya.

Ia menyerukan agar aparat pemerintah, mulai dari dinas hingga imigrasi dan kepolisian, tidak hanya menunggu laporan masyarakat, tetapi aktif melakukan inspeksi ke lapangan. Setiap usaha ilegal harus ditindak tegas—dengan jalan legalisasi melalui SIUP dan NPWP, atau penutupan permanen.

“Persaingan bisnis saat ini tidak sehat. Warga lokal terdesak oleh kekuatan modal asing yang tidak bermain sesuai aturan. Ini harus dihentikan,” tegasnya.

Kuhn juga menyoroti ketidakjelasan implementasi program Golden Visa 10 tahun yang memungkinkan WNA memiliki vila senilai miliaran rupiah serta hak pakai tanah hingga 80 tahun. Ia menilai regulasi yang longgar membuat konflik antara pemodal besar dan pemilik lokal semakin sering terjadi.

“Bila Bali ingin tetap menjadi destinasi wisata yang berkelanjutan dan adil, maka penegakan hukum terhadap bisnis ilegal WNA bukan lagi pilihan—melainkan kewajiban mendesak,” pungkasnya. (Ray)

Continue Reading

Pariwisata dan Budaya

Bayangan Gelap di Surga, Ketika Bali Kehilangan Pemasukan dari Pariwisata Ilegal

Published

on

By

BADUNG – Di balik citra glamor dan keindahan Pulau Dewata, terselip sebuah ironi yang menggerogoti perekonomian lokal. Banyak wisatawan asing datang ke Bali, namun tidak tercatat menginap di hotel atau vila resmi. Ternyata, sebagian besar dari mereka memilih akomodasi alternatif seperti vila pribadi atau rumah kos milik warga lokal yang belum memiliki izin operasional lengkap.

Tak hanya itu, marak pula praktik ilegal di mana Warga Negara Asing (WNA) menyewa vila secara daring dan menyewakannya kembali kepada kolega sesama WNA, bahkan sebelum mereka sendiri menempatinya. Aktivitas ini kerap terjadi di luar pengawasan pemerintah dan menghindari kewajiban pajak yang seharusnya dibayarkan.

Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana, Prof. Dr. Drs. I Putu Anom, B.Sc., M.Par., mengungkapkan perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap properti-properti yang disewakan kepada orang asing, baik berupa vila, rumah pribadi, maupun bentuk akomodasi lainnya.

“Pernah terjadi kasus di Seminyak di mana seorang tamu asing tinggal melebihi masa izin tinggalnya hingga menyebabkan keributan besar, bahkan menewaskan seorang anggota polisi. Mirisnya, vila tersebut ternyata tidak memiliki izin legal,” ungkap Prof. Anom saat dihubungi, Sabtu (10/5/2025).

Ia juga menyoroti keberadaan guest house mewah dan rumah kos elite yang kerap luput dari pengawasan pajak. Meskipun dimiliki oleh warga lokal, bentuk bisnis ini tak terklasifikasi sebagai akomodasi resmi, sehingga pendapatannya tidak dikenakan pajak hotel dan restoran.

“Bayangkan satu kamar disewakan seharga Rp2–3 juta. Jika ada 10 kamar, bisa menghasilkan Rp30 juta tanpa perlu promosi. Semua langsung masuk ke kantong pribadi, sementara daerah tidak memperoleh apa pun,” tegasnya.

Prof. Anom juga menyoroti praktik pembelian tanah oleh WNA yang memanfaatkan nama warga lokal sebagai perantara melalui akta notaris. Setelah membangun vila di atas tanah tersebut, mereka kemudian menyewakannya kepada turis asing lainnya. Keuntungan pun langsung dinikmati pemilik modal asing, sementara warga lokal hanya menjadi nama di atas kertas.

“Fenomena ini jelas menyebabkan potensi pajak daerah yang sangat besar tidak masuk ke kas negara,” tambahnya.

Untuk itu, ia menyarankan agar desa adat maupun desa dinas dilibatkan aktif dalam pengawasan akomodasi di wilayahnya. Karena mereka yang paling mengetahui siapa pemilik dan penyewa properti di daerah masing-masing, serta dapat melakukan pencatatan rutin untuk memastikan semua berjalan sesuai aturan.

Sebagai penutup, Prof. Anom juga menyinggung soal kebijakan Golden Visa dan retirement visa, yakni visa pensiun yang memungkinkan warga asing tinggal dalam jangka panjang di Indonesia. Menurutnya, kebijakan tersebut perlu dikaji ulang agar tidak membuka celah baru bagi penyalahgunaan izin tinggal untuk kepentingan bisnis ilegal. (Ray)

Continue Reading

Pariwisata dan Budaya

Segenap Manajemen DTW Tanah Lot Mengucapkan Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan

Published

on

“Rahajeng nyanggra rahina jagat Galungan lan Kuningan semeton titiang semuanya. Dumogi Ida Sang Hyang Widhi ngicenin kerahayuan”

 

I Wayan Sudiana

Manajer DTW Tabah Lot 2021-2026

Continue Reading

Trending

Copyright © 22 Juni 2013 Gatradewata. Pesonamu Inspirasiku