Connect with us

Pariwisata dan Budaya

SMK PGRI Denpasar Peserta UN Terbanyak di Bali

Published

on


 Kepala SMK PGRI 3 Denpasar, I Nengah Madiadnyana

Kepala SMK PGRI 3 Denpasar, I Nengah Madiadnyana


GATRADEWATA – Sebanyak 668 siswa kelas XII di SMK PGRI 3 Denpasar mengikuti Ujian Nasional Kertas dan Pensil (UNKP), yang dibagi ke dalam 34 ruangan serta diawasi pengawas sistem silang. Dan sekolah yang bernama keren Trigriska ini, menjadi sekolah dengan peserta UN terbanyak.

“Tahun ini, ujian nasional berbeda waktu dilaksanakannya, yakni dimulai pukul 10.30 wita sampai dengan pukul 12.30 wita, berakhirnya,” kata Kepala SMK PGRI 3 Denpasar, Drs. I Nengah Madiadnyana, MM., di sekolahnya sebelum Ujian Nasional (UN) dimulai, di Denpasar. Senin (10/4/2017).

Menurutnya, sebelum pelaksaan UN, para siswa diajak sembahyang bersama di pura sekolah dan sekaligus diberikan arahan tentang pelaksanaan UN.

“Kendatipun tidak menjadi penentu kelulusan, kita juga memberikan pembekalan berupa les pelajaran tambahan sebagai bentuk persiapan siswa dalam menghadapi UN,” lanjutnya.

Dalam kesempatan tersebut, Madiadnyana menjelaskan tentang kerja keras, disiplin, kerja ikhlas dan tuntas, menjadi kunci untuk meraih kesuksesan.

“Masyarakat Bali yang memeluk agama Hindu mempercayai hidup ini adalah implementasi kehidupan sebelumnya untuk menebus dosa pada kehidupan yang dulu. Sehingga mungkin ada hubungannya dengan nasib/garis tangan. Tetapi, tidak mutlak mempengaruhi seratus persen,” ujarnya.

Tujuan kehidupan ini, jelasnya, untuk memperbaiki hal tersebut. Dulu tidak tahu apa dan kemudian sekarang faham, tuturnya, maka hal ini dikembangkan menjadi lebih baik lagi, yang ditempuh melalui belajar.

“Sesuai kebenaran yang kita anut, yakni agama,” pungkasnya seraya menambahkan, hidup ini adalah ruabineda, ada yang baik dan ada yang benar.

“Saat terjelek adalah saat kita berusaha menuju kesuksesan,” tutup Madiadnyana. ALT


Advertisement

Pariwisata dan Budaya

I Gede Sujana, Arsitek Inovasi Budaya & Kemewahan di Royal Ambarrukmo Yogyakarta

Published

on

By

YogyakartaRoyal Ambarrukmo Yogyakarta, hotel ikonik yang melekat dengan sejarah dan budaya Jawa, terus menciptakan terobosan di dunia perhotelan mewah. Di tengah transformasi fasilitas dan penyempurnaan layanan, Royal Ambarrukmo kini juga memperkuat peran sosialnya melalui berbagai inisiatif berkelanjutan.

Salah satu program unggulannya adalah tukar sampah dengan pangan sehat, yang menjadi bukti nyata komitmen hotel dalam mendukung pengelolaan sampah dan pemberdayaan masyarakat lokal. Inovasi-inovasi ini hadir berkat kepemimpinan inspiratif dari I Gede Sujana, General Manager yang resmi menjabat sejak April 2025.

 

Jejak Karier Penuh Dedikasi

Lahir di Bali, I Gede Sujana memiliki rekam jejak panjang di industri perhotelan. Karier manajerialnya dimulai sebagai General Manager Fairfield by Marriott Belitung pada 2016, dilanjutkan ke Four Points by Sheraton Makassar pada 2018, hingga memimpin Sheraton Mustika Yogyakarta Resort & Spa pada 2022. Kini, ia memegang kendali di Royal Ambarrukmo Yogyakarta dengan visi menyelaraskan kemewahan dan kearifan lokal.

 

Harmoni Kemewahan dan Budaya

Di bawah arahannya, Royal Ambarrukmo Yogyakarta tampil sebagai rumah kedua bagi para tamu, menggabungkan sentuhan modern dengan kekayaan budaya Jawa yang autentik. Bagi Sujana, hospitality bukan sekadar layanan, tapi seni menghadirkan pengalaman yang menyentuh — dari arsitektur, kuliner tradisional, keramahan staf, hingga nilai budaya yang hidup dalam setiap sudut hotel.

 

Bergerak Bersama Komunitas

Komitmen terhadap Sustainable Development Goals menjadi prioritas Sujana dalam menjalankan strategi hotel. Dengan menggandeng komunitas lokal, Royal Ambarrukmo memperkuat peran industri perhotelan sebagai penggerak pariwisata yang inklusif dan ramah lingkungan.

 

Kepemimpinan yang Membumi dan Visioner

Tak hanya memimpin operasional harian, Sujana juga membangun budaya kerja yang kolaboratif, inovatif, dan berbasis pembelajaran berkelanjutan. Di tangannya, Royal Ambarrukmo tidak hanya mempertahankan standar tinggi layanan, tetapi juga memperkuat posisinya sebagai simbol hidup dari kemewahan yang berpadu dengan warisan budaya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Royal Ambarrukmo Yogyakarta di (0274) 488 488, kunjungi Instagram @royalambarrukmo, atau akses situs resminya di www.royalambarrukmo.com.

 

“Kembali ke Jantung Budaya, Menginaplah di Legenda.”

#RoyalAmbarrukmo #LivingLegend #LuxuryMeetsCulture

Continue Reading

Pariwisata dan Budaya

Investasi Ilegal WNA Rugikan Bali, Dr. Panudiana Kuhn Desak Penertiban Menyeluruh

Published

on

By

Dr. Panudiana Kuhn, Ketua Pembina Apindo Bali

DENPASAR — Fenomena pelanggaran hukum yang dilakukan warga negara asing (WNA) di sektor pariwisata Bali menuai sorotan tajam dari Dr. Panudiana Kuhn, Ketua Pembina Apindo Bali sekaligus pengusaha senior yang lama bergelut di industri lokal. Ia menilai praktik-praktik bisnis gelap yang kian marak bukan hanya menggerus pendapatan pajak daerah, tetapi juga mengancam kelangsungan usaha milik warga lokal.

Menurut Dr. Kuhn, modus operandi yang kerap terjadi adalah penyewaan vila oleh WNA yang kemudian kembali disewakan kepada sesama WNA secara diam-diam dari luar negeri, tanpa jejak administratif, tanpa izin usaha, dan tentu tanpa kontribusi pajak. Lebih lanjut, ia mengungkap bahwa banyak transaksi jual beli properti dilakukan menggunakan mata uang asing dan dibayarkan di luar negeri—sebuah pelanggaran serius yang luput dari pantauan otoritas.

“Ironisnya, pemerintah Bali bahkan tidak memiliki data pasti soal jumlah vila yang disewakan tiap tahun, padahal pungutan keamanan dari pecalang terus berjalan,” ujarnya.

Ia menyerukan agar aparat pemerintah, mulai dari dinas hingga imigrasi dan kepolisian, tidak hanya menunggu laporan masyarakat, tetapi aktif melakukan inspeksi ke lapangan. Setiap usaha ilegal harus ditindak tegas—dengan jalan legalisasi melalui SIUP dan NPWP, atau penutupan permanen.

“Persaingan bisnis saat ini tidak sehat. Warga lokal terdesak oleh kekuatan modal asing yang tidak bermain sesuai aturan. Ini harus dihentikan,” tegasnya.

Kuhn juga menyoroti ketidakjelasan implementasi program Golden Visa 10 tahun yang memungkinkan WNA memiliki vila senilai miliaran rupiah serta hak pakai tanah hingga 80 tahun. Ia menilai regulasi yang longgar membuat konflik antara pemodal besar dan pemilik lokal semakin sering terjadi.

“Bila Bali ingin tetap menjadi destinasi wisata yang berkelanjutan dan adil, maka penegakan hukum terhadap bisnis ilegal WNA bukan lagi pilihan—melainkan kewajiban mendesak,” pungkasnya. (Ray)

Continue Reading

Pariwisata dan Budaya

Bayangan Gelap di Surga, Ketika Bali Kehilangan Pemasukan dari Pariwisata Ilegal

Published

on

By

BADUNG – Di balik citra glamor dan keindahan Pulau Dewata, terselip sebuah ironi yang menggerogoti perekonomian lokal. Banyak wisatawan asing datang ke Bali, namun tidak tercatat menginap di hotel atau vila resmi. Ternyata, sebagian besar dari mereka memilih akomodasi alternatif seperti vila pribadi atau rumah kos milik warga lokal yang belum memiliki izin operasional lengkap.

Tak hanya itu, marak pula praktik ilegal di mana Warga Negara Asing (WNA) menyewa vila secara daring dan menyewakannya kembali kepada kolega sesama WNA, bahkan sebelum mereka sendiri menempatinya. Aktivitas ini kerap terjadi di luar pengawasan pemerintah dan menghindari kewajiban pajak yang seharusnya dibayarkan.

Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana, Prof. Dr. Drs. I Putu Anom, B.Sc., M.Par., mengungkapkan perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap properti-properti yang disewakan kepada orang asing, baik berupa vila, rumah pribadi, maupun bentuk akomodasi lainnya.

“Pernah terjadi kasus di Seminyak di mana seorang tamu asing tinggal melebihi masa izin tinggalnya hingga menyebabkan keributan besar, bahkan menewaskan seorang anggota polisi. Mirisnya, vila tersebut ternyata tidak memiliki izin legal,” ungkap Prof. Anom saat dihubungi, Sabtu (10/5/2025).

Ia juga menyoroti keberadaan guest house mewah dan rumah kos elite yang kerap luput dari pengawasan pajak. Meskipun dimiliki oleh warga lokal, bentuk bisnis ini tak terklasifikasi sebagai akomodasi resmi, sehingga pendapatannya tidak dikenakan pajak hotel dan restoran.

“Bayangkan satu kamar disewakan seharga Rp2–3 juta. Jika ada 10 kamar, bisa menghasilkan Rp30 juta tanpa perlu promosi. Semua langsung masuk ke kantong pribadi, sementara daerah tidak memperoleh apa pun,” tegasnya.

Prof. Anom juga menyoroti praktik pembelian tanah oleh WNA yang memanfaatkan nama warga lokal sebagai perantara melalui akta notaris. Setelah membangun vila di atas tanah tersebut, mereka kemudian menyewakannya kepada turis asing lainnya. Keuntungan pun langsung dinikmati pemilik modal asing, sementara warga lokal hanya menjadi nama di atas kertas.

“Fenomena ini jelas menyebabkan potensi pajak daerah yang sangat besar tidak masuk ke kas negara,” tambahnya.

Untuk itu, ia menyarankan agar desa adat maupun desa dinas dilibatkan aktif dalam pengawasan akomodasi di wilayahnya. Karena mereka yang paling mengetahui siapa pemilik dan penyewa properti di daerah masing-masing, serta dapat melakukan pencatatan rutin untuk memastikan semua berjalan sesuai aturan.

Sebagai penutup, Prof. Anom juga menyinggung soal kebijakan Golden Visa dan retirement visa, yakni visa pensiun yang memungkinkan warga asing tinggal dalam jangka panjang di Indonesia. Menurutnya, kebijakan tersebut perlu dikaji ulang agar tidak membuka celah baru bagi penyalahgunaan izin tinggal untuk kepentingan bisnis ilegal. (Ray)

Continue Reading

Trending

Copyright © 22 Juni 2013 Gatradewata. Pesonamu Inspirasiku