Connect with us

Pariwisata dan Budaya

Dr. Suarta; Tugas dan Fungsi BK Dituntut Menguasai Solusi

Published

on


Dr. I Made Suarta, SH., M.Hum., Rektor IKIP PGRI Bali

Dr. I Made Suarta, SH., M.Hum., Rektor IKIP PGRI Bali


GATRADEWATA – Tugas dan fungsi petugas Bimbingan Konseling(BK) professional sangatlah berat. Pasalnya, mereka dituntut menguasai solusi dari semua persoalan yang dihadapi siswa maupun masyarakat umum. Sementara persoalan dalam kehidupan ini sifatnya sangat kompleks.

Hal tersebut disampaikan Rektor IKIP PGRI Bali Dr. I Made Suarta, SH., M.Hum., di Auditorium Redha Gunawan setelah selesai Seminar Nasional Bimbingan Konseling yang menghadirkan narasumber dari UPI Bandung, Prof. Dr. Syamsu Yusuf, M.Pd., dan Dr. I Ketut Gading, M.Psi., dari Undiksha Singaraja. Senin, 27/02/207.

“Karenanya, IKIP PGRI Bali mendorong Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) yang menaungi prodi BK senantiasa meningkatkan kualitas. Saya harapkan FIP berhasil meraih akreditasi A,” tegasnya.

Sebelumnya, narasumber Prof. Dr. Syamsu Yusuf menyampaikan, BK dalam ranah pendidikan berfungsi mengawal peserta didik menjadi manusia yang sejahtera dalam bidang spiritual, emosional, fisik dan sosial. BK, kata dia, juga mengawal peserta didik membangun kesadaran merawat diri sebagai manusia yang sehat dari segala sisi tersebut.

“BK itu pemecah masalah, bukan pembuat onar,” tegasnya.

Narasumber lainnya, Dr. I Ketut Gading, M.Psi., menyampaikan, kompetensi dan komitmen calon petugas BK harus selalu diupgrade mengikuti kebutuhan. Sebab, menurutnya persoalan kehidupan berjalan dinamis. Ia menyoroti kebijakan petugas BK di jenjang SMP dan SMA/SMK 1:150 (satu petugas BK menangani 150 siswa) dinilai  akan menghambat layanan konseling.

“Saya yakin petugas BK akan kewalahan dengan perbandingan itu. Akibatnya, beberapa pelayanan konseling tak maksimal,” ungkapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Dekan FIP IKIP PGRI Bali Drs. I Wayan Waga, M.Si., menyatakan minat masyarakat memilih prodi BK sangat stabil, rata-rata dua kelas setiap penerimaan mahasiswa baru.

Dimana, perolehan mahasiswa sangat dipengaruhi informasi pengangkatan guru BK oleh pemerintah. Ia berharap, lulusan BK yang belum diangkat menjadi pegawai tetap di sekolah-sekolah, mampu mengembangkan kompetensinya untuk membuka usaha sendiri.

“Kan bisa saja buat usaha jasa layanan konseling untuk masyarakat. Karena ilmu BK berkaitan dengan psikologis,” akhir Dekan.

Gws


Advertisement

Pariwisata dan Budaya

Investasi Ilegal WNA Rugikan Bali, Dr. Panudiana Kuhn Desak Penertiban Menyeluruh

Published

on

By

Dr. Panudiana Kuhn, Ketua Pembina Apindo Bali

DENPASAR — Fenomena pelanggaran hukum yang dilakukan warga negara asing (WNA) di sektor pariwisata Bali menuai sorotan tajam dari Dr. Panudiana Kuhn, Ketua Pembina Apindo Bali sekaligus pengusaha senior yang lama bergelut di industri lokal. Ia menilai praktik-praktik bisnis gelap yang kian marak bukan hanya menggerus pendapatan pajak daerah, tetapi juga mengancam kelangsungan usaha milik warga lokal.

Menurut Dr. Kuhn, modus operandi yang kerap terjadi adalah penyewaan vila oleh WNA yang kemudian kembali disewakan kepada sesama WNA secara diam-diam dari luar negeri, tanpa jejak administratif, tanpa izin usaha, dan tentu tanpa kontribusi pajak. Lebih lanjut, ia mengungkap bahwa banyak transaksi jual beli properti dilakukan menggunakan mata uang asing dan dibayarkan di luar negeri—sebuah pelanggaran serius yang luput dari pantauan otoritas.

“Ironisnya, pemerintah Bali bahkan tidak memiliki data pasti soal jumlah vila yang disewakan tiap tahun, padahal pungutan keamanan dari pecalang terus berjalan,” ujarnya.

Ia menyerukan agar aparat pemerintah, mulai dari dinas hingga imigrasi dan kepolisian, tidak hanya menunggu laporan masyarakat, tetapi aktif melakukan inspeksi ke lapangan. Setiap usaha ilegal harus ditindak tegas—dengan jalan legalisasi melalui SIUP dan NPWP, atau penutupan permanen.

“Persaingan bisnis saat ini tidak sehat. Warga lokal terdesak oleh kekuatan modal asing yang tidak bermain sesuai aturan. Ini harus dihentikan,” tegasnya.

Kuhn juga menyoroti ketidakjelasan implementasi program Golden Visa 10 tahun yang memungkinkan WNA memiliki vila senilai miliaran rupiah serta hak pakai tanah hingga 80 tahun. Ia menilai regulasi yang longgar membuat konflik antara pemodal besar dan pemilik lokal semakin sering terjadi.

“Bila Bali ingin tetap menjadi destinasi wisata yang berkelanjutan dan adil, maka penegakan hukum terhadap bisnis ilegal WNA bukan lagi pilihan—melainkan kewajiban mendesak,” pungkasnya. (Ray)

Continue Reading

Pariwisata dan Budaya

Bayangan Gelap di Surga, Ketika Bali Kehilangan Pemasukan dari Pariwisata Ilegal

Published

on

By

BADUNG – Di balik citra glamor dan keindahan Pulau Dewata, terselip sebuah ironi yang menggerogoti perekonomian lokal. Banyak wisatawan asing datang ke Bali, namun tidak tercatat menginap di hotel atau vila resmi. Ternyata, sebagian besar dari mereka memilih akomodasi alternatif seperti vila pribadi atau rumah kos milik warga lokal yang belum memiliki izin operasional lengkap.

Tak hanya itu, marak pula praktik ilegal di mana Warga Negara Asing (WNA) menyewa vila secara daring dan menyewakannya kembali kepada kolega sesama WNA, bahkan sebelum mereka sendiri menempatinya. Aktivitas ini kerap terjadi di luar pengawasan pemerintah dan menghindari kewajiban pajak yang seharusnya dibayarkan.

Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana, Prof. Dr. Drs. I Putu Anom, B.Sc., M.Par., mengungkapkan perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap properti-properti yang disewakan kepada orang asing, baik berupa vila, rumah pribadi, maupun bentuk akomodasi lainnya.

“Pernah terjadi kasus di Seminyak di mana seorang tamu asing tinggal melebihi masa izin tinggalnya hingga menyebabkan keributan besar, bahkan menewaskan seorang anggota polisi. Mirisnya, vila tersebut ternyata tidak memiliki izin legal,” ungkap Prof. Anom saat dihubungi, Sabtu (10/5/2025).

Ia juga menyoroti keberadaan guest house mewah dan rumah kos elite yang kerap luput dari pengawasan pajak. Meskipun dimiliki oleh warga lokal, bentuk bisnis ini tak terklasifikasi sebagai akomodasi resmi, sehingga pendapatannya tidak dikenakan pajak hotel dan restoran.

“Bayangkan satu kamar disewakan seharga Rp2–3 juta. Jika ada 10 kamar, bisa menghasilkan Rp30 juta tanpa perlu promosi. Semua langsung masuk ke kantong pribadi, sementara daerah tidak memperoleh apa pun,” tegasnya.

Prof. Anom juga menyoroti praktik pembelian tanah oleh WNA yang memanfaatkan nama warga lokal sebagai perantara melalui akta notaris. Setelah membangun vila di atas tanah tersebut, mereka kemudian menyewakannya kepada turis asing lainnya. Keuntungan pun langsung dinikmati pemilik modal asing, sementara warga lokal hanya menjadi nama di atas kertas.

“Fenomena ini jelas menyebabkan potensi pajak daerah yang sangat besar tidak masuk ke kas negara,” tambahnya.

Untuk itu, ia menyarankan agar desa adat maupun desa dinas dilibatkan aktif dalam pengawasan akomodasi di wilayahnya. Karena mereka yang paling mengetahui siapa pemilik dan penyewa properti di daerah masing-masing, serta dapat melakukan pencatatan rutin untuk memastikan semua berjalan sesuai aturan.

Sebagai penutup, Prof. Anom juga menyinggung soal kebijakan Golden Visa dan retirement visa, yakni visa pensiun yang memungkinkan warga asing tinggal dalam jangka panjang di Indonesia. Menurutnya, kebijakan tersebut perlu dikaji ulang agar tidak membuka celah baru bagi penyalahgunaan izin tinggal untuk kepentingan bisnis ilegal. (Ray)

Continue Reading

Pariwisata dan Budaya

Segenap Manajemen DTW Tanah Lot Mengucapkan Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan

Published

on

“Rahajeng nyanggra rahina jagat Galungan lan Kuningan semeton titiang semuanya. Dumogi Ida Sang Hyang Widhi ngicenin kerahayuan”

 

I Wayan Sudiana

Manajer DTW Tabah Lot 2021-2026

Continue Reading

Trending

Copyright © 22 Juni 2013 Gatradewata. Pesonamu Inspirasiku