DENPASAR – Sebuah acara unik dan penuh inspirasi telah digelar di Living World Mall, Denpasar, yang memadukan antara harmoni musik dan semangat inklusi, Jum’at (15/11/2024).
Lomba Menyanyi Inklusi dan Paduan Suara, yang diprakarsai oleh praktisi musik inklusi, R. Wahyu Panca Wati, S.Pd., M.Th., sukses memikat perhatian publik. Acara ini tidak hanya menjadi panggung seni, tetapi juga sarana untuk menyuarakan pentingnya kesetaraan dan keberagaman dalam dunia musik.
R Wahyu Panca Wati, S.Pd, M.Th
Dalam wawancara eksklusif, R. Wahyu Panca Wati, mengungkapkan bahwa musik adalah bahasa universal yang inklusif secara alami.
“Musik tidak mengenal batasan,” ujarnya. “Siapapun berhak bermusik, termasuk mereka yang memiliki disabilitas.”
Menurutnya, istilah “inklusi” seharusnya tidak lagi menjadi pembeda, melainkan menjadi hal yang dianggap wajar dalam kehidupan sehari-hari.
Acara ini melibatkan anak-anak penyandang disabilitas dan tanpa disabilitas yang bersaing secara setara dalam Lomba Menyanyi dan Paduan Suara. Keberhasilan mereka menunjukkan bahwa kualitas bermusik tidak ditentukan oleh kondisi fisik, melainkan oleh latihan, kesiapan, dan teknik.
Juara pertama diraih oleh Made Amisha Rheata, peserta non-disabilitas yang tampil memukau dengan penguasaan teknik dan kepercayaan diri yang baik. Sementara itu, juara kedua adalah Ni Kadek Devi, anak dengan Spektrum Autis yang mampu menghayati lagu secara emosional meski memiliki keterbatasan komunikasi. Juara ketiga diraih oleh Muhammad Rhodzbillah, peserta dengan disabilitas fisik yang menunjukkan semangat luar biasa dengan suara merdunya.
Sedangkan juara pertama Lomba Paduan Suara diraih oleh Regents Secondary School dengan memadukan harmony suara, Teknik vocal yang mumpuni, dan koreografi apik . Juara kedua diraih oleh Simfony YPK Bali, beranggotakan anak-anak Tuna Daksa yang mampu memukau penonton dengan suara yang mereka perdengarkan di atas kursi roda. Selain itu juara favorit diberikan kepada Wira Revandi, penyandang Spektrum Autis yang mampu menyanyi dengan sangat percaya diri.
“Ini bukan soal disabilitas atau tidak,” kata Wahyu. “Yang dinilai adalah siapa yang paling siap, siapa yang tekniknya lebih baik. Semua yang berani tampil di panggung ini dengan percaya diri adalah juaranya. Namun jauh di atas itu, bagi saya semua adalah pemenang; menang atas rendah diri, ketakutan, dan kemalasan”
Selain lomba, acara ini juga menjadi momen peluncuran lagu-lagu anak yang diciptakan oleh siswa-siswa SD. Lagu-lagu ini bukan hanya hasil karya, tetapi juga cerminan keberanian dan kreativitas anak-anak dalam menggali potensi diri. Meskipun saat ini ada teknologi AI sebagai alat bantu dalam proses penciptaan lagu, mereka lebih memilih untuk menunjukkan keunggulan manual mereka.
“Mereka bilang, ‘Bu, kayaknya kita lebih jago dari AI,’” cerita Wahyu dengan bangga. “Jawaban ini menunjukkan kepercayaan diri luar biasa.”
Dengan melakukan pencarian Waktra Music di Spotify, akan muncul para pencipta lagu cilik Komang Gaozhan, Andrea Kezia, Clement Timothy, Maika Sena, dan Nyoman Reyshia dengan lagu-lagu mereka yang unik.
Ini juga menunjukkan inklusifitas dibidang penciptaan lagu yang selama ini didominasi orang dewasa. Dengan pelatihan yang tepat, anak-anak juga mampu menciptakan lagu yang sesuai dengan jamannya.
Acara ini juga dimeriahkan oleh festival musik yang menampilkan beragam komunitas. Dari band mahasiswa ISI Denpasar hingga Kretas Band yang beranggotakan anak-anak Spektrum Autis, paduan suara anak-anak, hingga Paduan Suara Campuran anak-anak disabilitas beserta dengan orang tuanya.
Paduan suara anak-anak disabilitas, seperti Bali Choir yang anggotanya terdiri dari anak-anak dengan multi disabilitas, seperti Down Syndrome, Spektrun Autis, CP, Tuna Daksa, dan Tuna Grahita, berhasil tampil memukau. Acara ini ditutup dengan penampilan memukau Celtic Room bali, sebuah group musik yang anggotanya dari beragam profesi,arsitek, dokter, guru, dan Musisi. Sekali lagi festival ini menjadi bukti bahwa musik dapat menjadi jembatan untuk merayakan perbedaan.
Wahyu tidak menutup mata terhadap berbagai tantangan dalam penyelenggaraan acara ini. Salah satu kendala utama adalah status Waktra yang saat ini masih berbentuk sanggar, sehingga jangkauan pelayanan dan kerjasama yang masih terbatas. Namun, ia optimis dengan rencana mendirikan yayasan agar dapat menjalin kerja sama lebih luas dan meningkatkan kualitas acara di masa depan.
Harapan lain yang disampaikan adalah perhatian pemerintah terhadap pendidikan inklusi, terutama di Sekolah Luar Biasa (SLB). Ia menekankan pentingnya penyediaan guru musik berkualitas, alat peraga, dan kurikulum yang sesuai.
“Kalau anak-anak disabilitas ingin bersaing secara setara, mereka harus diberi pendidikan dan pelatihan yang setara,” tegasnya.
Melalui acara ini, Wahyu berharap terciptanya panggung musik inklusi yang dapat menjadi etalase keberagaman di Bali, bahkan hingga tingkat internasional. Panggung ini diharapkan mampu merayakan keberagaman tanpa batas, baik dari segi kondisi fisik, gender, usia, maupun latar belakang.
“Semoga masyarakat, pemerintah, dan berbagai stakeholder mendukung mimpi ini,” ujar Wahyu. “Dengan begitu, musik bisa menjadi sarana yang lebih besar untuk merayakan keberagaman dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua.”
Lomba Menyanyi Inklusi dan Paduan Suara di Living World Mall bukan sekadar acara musik, tetapi juga perayaan keberagaman dan perjuangan menuju kesetaraan. Acara ini menjadi langkah awal menuju visi besar menjadikan musik sebagai alat pemersatu yang melampaui batasan fisik dan sosial. Dengan semangat dan dukungan yang terus mengalir, panggung musik inklusi di Bali siap memberikan inspirasi bagi dunia. (E’Brv)