Connect with us

Pariwisata dan Budaya

Membangun Bali atau Membangun di Bali, Dugaan Hotel Tak Kantongi Amdal Bebas Kumpulkan Cuan

Published

on

Prof. Ir. Made Sudiana Mahendra MAppSc. Ph.D., pakar lingkungan hidup.

DENPASAR – Pandemi baru saja berlalu, pariwisata kembali bergeliat, banyak wisatawan yang mulai datang ke Bali dengan karakter berbeda – beda dan ada juga yang sempat menghebohkan masyarakat Bali.

Dengan kejadian – kejadian itu Pemerintah Bali mencoba memfasilitasi dengan memberikan aturan – aturan yang lebih ketat soal Do and Don’t di Bali.

Tetapi bila dilirik masih banyak akomodasi pariwisata yang melanggar aturan yang sudah ada. Ada beberapa santer di media massa tentang villa bodong, tanahnya milik orang pribumi tetapi disewakan dan dibangun oleh orang asing (WNA) kemudian disewakan tanpa kaidah perizinan yang benar.

Karena mudahnya bule – bule tadi menyewakan villa – villa yang dibangunnya kepada koleganya di luar negeri, ini menjadi bisnis yang menggiurkan alih – alih hanya berlibur.

Pribumi yang terkadang pemilik tanah menjadi beking mereka, karena bayaran sewa atau harapan bangunan nantinya jadi milik mereka. Impian – impian inilah yang membuat masyarakat menjadi buta tuli terhadap apa pentingnya membangun Bali bukan sekedar membangun di Bali.

Untuk mengerucutkan, penelusuran pun dilakukan awak media di wilayah Ubud Kabupaten Gianyar, ada hotel berbintang diduga tanpa perizinan yang lengkap telah menyambut turis dengan memakai brand management ternama, diduga belum mengantongi izin Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL).

Ini tentu pundi – pundi dollar ingin diterima tetapi upaya untuk melengkapi potensi dampak lingkungan enggan dipenuhi, tentu mereka pede (percaya diri) dengan orang – orang kuat dibelakangnya, tetapi masyarakat Bali sekitarlah yang menjadi korban.

Menghubungi Prof. Ir. Made Sudiana Mahendra MAppSc. Ph.D., selaku Kelompok Ahli Pembangunan Bidang
Pangan, Sandang, dan Papan, menanyakan pengamatan dan investigasi awak media itu, menyebutkan bahwa Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) merupakan salah satu dokumen lingkungan yang mesti disusun sebelum suatu rencana usaha dibangun dan/atau dioperasikan.

” Sebelum pemberlakuan UUCK dengan turunannya PP No. 22 tahun 2021, memang masih ada pelanggaran – pelanggaran yang dilakukan oleh pemilik usaha yang membangun usahanya tanpa memiliki dokumen lingkungan ”

Lanjutnya, ” Ini akan sangat sulit dilakukan pada saat ini, karena Persetujuan Lingkungan merupakan prasyarat untuk penerbitan Izin Berusaha, ” ungkapnya melalui pesan aplikasi elektronik, Kamis (13/07/2023).

Kemudian PBG (yang sebelumnya disebut IMB), juga menjadi prasyarat kedua yang harus dimiliki oleh pelaku usaha sebelum lanjut mengurus perizinan berusaha.

Ditanyakan pembangunan yang dilakukan tanpa izin kemudian saat terciduk, bermasalah baru mencari atau minta toleransi atau bahkan menyuap oknum pemerintahan.

Ia mengiyakan, tetapi juga menekankan bahwa tentu itu masih dalam proses penyempurnaan. Kemudian adanya berbagai kewenangan penilaian dokumen lingkungan yang ditarik ke Pusat, menambah lagi kesulitan dalam proses Amdal.

” Dalam artian membutuhkan waktu yang jauh lebih lama bila dibandingkan dengan proses penilaian yang dilakukan oleh Komisi di daerah (Kabupaten/Kota maupun Provinsi), ” tulisnya dalam pesan tersebut.

Ia juga menyebutkan bahwa hal seperti itu tidak terhindarkan karena proses penerbitan persetujuan lingkungan membutuhkan waktu yang sangat lama.

” Namun risikonya mungkin seperti yang disampaikan, namun sanksi dari UU PPLH akan tetap berjalan bagi pelaku usaha yang tidak taat ”

Ditanyakan tentang toleransi perizinan karena lamanya, ia menekankan bahwa sama sekali tidak bisa diabaikan lagi karena sudah menjadi prasyarat perizinan berusaha.

” Malahan harus diperketat, termasuk kewajiban pengelolaan dan pemantauan lingkungan bagi setiap pelaku usaha yang mesti dilaporkan setiap semester ”

Ia juga menjelaskan sesuai dengan arahan dan harapan Presiden, perubahan ini sebenarnya diharapkan untuk memperpendek dan menyederhanakan proses penerbitan Persetujuan Lingkungan dengan cara meniadakan Surat Keputusan Kerangka Acuan Andal dan Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan, dan langsung menerbitkan Persetujuan Lingkungan.

” Namun faktanya, dengan ditariknya kewenangan ke Pusat bagi sebagian besar Penilaian Dokumen Lingkungan, KLHK malah menjadi kewalahan dan kekurangan SDM, sehingga daftar antrean penilaian dokumen lingkungan menjadi sangat panjang karena sebagian besar dokumen tersebut berasal dari Kabupaten/Kota dan Provinsi di seluruh Indonesia ”

Ini tentu menjadi kurang efektif, kekurangmampuan pusat untuk melakukan proses asesmen dokumen tepat waktu, dan ini sudah mulai disadari sehingga beberapa Provinsi sudah mulai dikembalikan kewenangan penilaiannya.

” Namun sayang Provinsi Bali belum masuk dalam list tersebut. Lemahnya pengawasan dari pemerintah juga menyebabkan terjadinya pelanggaran seperti yang terjadi di Ubud ”

Bila tidak ditindak, tentu ini menjadi kurang fair (adil) bagi pelaku usaha yang benar-benar berjuang memenuhi semua aturan yang ada.

Tentu sebagai upaya membangun Bali wajib memiliki upaya berkontribusi terhadap Bali, serta masyarakat juga dapat menjadi kontrol dan membantu pemerintah dalam meminimalisir kondisi tersebut. (Ray)


Kebanggaan sebagai wartawan adalah selalu silahturahmi kepada semua pihak, tetap belajar dan selalu konfirmasi dalam pemberitaan yang adil dan berimbang.

Pariwisata dan Budaya

Investasi Ilegal WNA Rugikan Bali, Dr. Panudiana Kuhn Desak Penertiban Menyeluruh

Published

on

By

Dr. Panudiana Kuhn, Ketua Pembina Apindo Bali

DENPASAR — Fenomena pelanggaran hukum yang dilakukan warga negara asing (WNA) di sektor pariwisata Bali menuai sorotan tajam dari Dr. Panudiana Kuhn, Ketua Pembina Apindo Bali sekaligus pengusaha senior yang lama bergelut di industri lokal. Ia menilai praktik-praktik bisnis gelap yang kian marak bukan hanya menggerus pendapatan pajak daerah, tetapi juga mengancam kelangsungan usaha milik warga lokal.

Menurut Dr. Kuhn, modus operandi yang kerap terjadi adalah penyewaan vila oleh WNA yang kemudian kembali disewakan kepada sesama WNA secara diam-diam dari luar negeri, tanpa jejak administratif, tanpa izin usaha, dan tentu tanpa kontribusi pajak. Lebih lanjut, ia mengungkap bahwa banyak transaksi jual beli properti dilakukan menggunakan mata uang asing dan dibayarkan di luar negeri—sebuah pelanggaran serius yang luput dari pantauan otoritas.

“Ironisnya, pemerintah Bali bahkan tidak memiliki data pasti soal jumlah vila yang disewakan tiap tahun, padahal pungutan keamanan dari pecalang terus berjalan,” ujarnya.

Ia menyerukan agar aparat pemerintah, mulai dari dinas hingga imigrasi dan kepolisian, tidak hanya menunggu laporan masyarakat, tetapi aktif melakukan inspeksi ke lapangan. Setiap usaha ilegal harus ditindak tegas—dengan jalan legalisasi melalui SIUP dan NPWP, atau penutupan permanen.

“Persaingan bisnis saat ini tidak sehat. Warga lokal terdesak oleh kekuatan modal asing yang tidak bermain sesuai aturan. Ini harus dihentikan,” tegasnya.

Kuhn juga menyoroti ketidakjelasan implementasi program Golden Visa 10 tahun yang memungkinkan WNA memiliki vila senilai miliaran rupiah serta hak pakai tanah hingga 80 tahun. Ia menilai regulasi yang longgar membuat konflik antara pemodal besar dan pemilik lokal semakin sering terjadi.

“Bila Bali ingin tetap menjadi destinasi wisata yang berkelanjutan dan adil, maka penegakan hukum terhadap bisnis ilegal WNA bukan lagi pilihan—melainkan kewajiban mendesak,” pungkasnya. (Ray)

Continue Reading

Pariwisata dan Budaya

Bayangan Gelap di Surga, Ketika Bali Kehilangan Pemasukan dari Pariwisata Ilegal

Published

on

By

BADUNG – Di balik citra glamor dan keindahan Pulau Dewata, terselip sebuah ironi yang menggerogoti perekonomian lokal. Banyak wisatawan asing datang ke Bali, namun tidak tercatat menginap di hotel atau vila resmi. Ternyata, sebagian besar dari mereka memilih akomodasi alternatif seperti vila pribadi atau rumah kos milik warga lokal yang belum memiliki izin operasional lengkap.

Tak hanya itu, marak pula praktik ilegal di mana Warga Negara Asing (WNA) menyewa vila secara daring dan menyewakannya kembali kepada kolega sesama WNA, bahkan sebelum mereka sendiri menempatinya. Aktivitas ini kerap terjadi di luar pengawasan pemerintah dan menghindari kewajiban pajak yang seharusnya dibayarkan.

Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana, Prof. Dr. Drs. I Putu Anom, B.Sc., M.Par., mengungkapkan perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap properti-properti yang disewakan kepada orang asing, baik berupa vila, rumah pribadi, maupun bentuk akomodasi lainnya.

“Pernah terjadi kasus di Seminyak di mana seorang tamu asing tinggal melebihi masa izin tinggalnya hingga menyebabkan keributan besar, bahkan menewaskan seorang anggota polisi. Mirisnya, vila tersebut ternyata tidak memiliki izin legal,” ungkap Prof. Anom saat dihubungi, Sabtu (10/5/2025).

Ia juga menyoroti keberadaan guest house mewah dan rumah kos elite yang kerap luput dari pengawasan pajak. Meskipun dimiliki oleh warga lokal, bentuk bisnis ini tak terklasifikasi sebagai akomodasi resmi, sehingga pendapatannya tidak dikenakan pajak hotel dan restoran.

“Bayangkan satu kamar disewakan seharga Rp2–3 juta. Jika ada 10 kamar, bisa menghasilkan Rp30 juta tanpa perlu promosi. Semua langsung masuk ke kantong pribadi, sementara daerah tidak memperoleh apa pun,” tegasnya.

Prof. Anom juga menyoroti praktik pembelian tanah oleh WNA yang memanfaatkan nama warga lokal sebagai perantara melalui akta notaris. Setelah membangun vila di atas tanah tersebut, mereka kemudian menyewakannya kepada turis asing lainnya. Keuntungan pun langsung dinikmati pemilik modal asing, sementara warga lokal hanya menjadi nama di atas kertas.

“Fenomena ini jelas menyebabkan potensi pajak daerah yang sangat besar tidak masuk ke kas negara,” tambahnya.

Untuk itu, ia menyarankan agar desa adat maupun desa dinas dilibatkan aktif dalam pengawasan akomodasi di wilayahnya. Karena mereka yang paling mengetahui siapa pemilik dan penyewa properti di daerah masing-masing, serta dapat melakukan pencatatan rutin untuk memastikan semua berjalan sesuai aturan.

Sebagai penutup, Prof. Anom juga menyinggung soal kebijakan Golden Visa dan retirement visa, yakni visa pensiun yang memungkinkan warga asing tinggal dalam jangka panjang di Indonesia. Menurutnya, kebijakan tersebut perlu dikaji ulang agar tidak membuka celah baru bagi penyalahgunaan izin tinggal untuk kepentingan bisnis ilegal. (Ray)

Continue Reading

Pariwisata dan Budaya

Segenap Manajemen DTW Tanah Lot Mengucapkan Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan

Published

on

“Rahajeng nyanggra rahina jagat Galungan lan Kuningan semeton titiang semuanya. Dumogi Ida Sang Hyang Widhi ngicenin kerahayuan”

 

I Wayan Sudiana

Manajer DTW Tabah Lot 2021-2026

Continue Reading

Trending

Copyright © 22 Juni 2013 Gatradewata. Pesonamu Inspirasiku