Narasi Kontra Soal PHK di Sektor Pariwisata Bali, Data Optimis vs Waspada Realistis
- account_circle Admin
- calendar_month Ming, 29 Jun 2025

Isu PHK di Tengah Pulihnya Pariwisata Bali
DENPASAR – Pernyataan yang kontras antara Gubernur Bali I Wayan Koster pada acara penutupan Bung Karno VII dan Instagram Ketua DPR RI Puan Maharani menunjukkan dua sudut pandang berbeda atas dinamika terkini sektor pariwisata Bali. Di satu sisi, Gubernur Koster menepis isu pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menyebut isu tersebut sebagai kampanye negatif dari kompetitor destinasi lain. Di sisi lain, Puan Maharani menyampaikan peringatan tentang potensi PHK sebagai ancaman serius yang perlu diantisipasi oleh pemerintah pusat dan daerah.
Analisis Data Wisatawan (2024–2025)
Berdasarkan data yang disampaikan Gubernur Koster:
• Wisatawan mancanegara (wisman) hingga akhir 2024 mencapai 6,4 juta.
• Wisatawan domestik mencapai 9,5 juta.
• Tahun 2025, jumlah wisman naik 10–12% rata-rata per hari.
• Sebaliknya, wisatawan domestik turun 10–20% rata-rata per hari.
Yang artinya analisanya bahwa pertumbuhan kunjungan wisman memang mencerminkan pemulihan dan peningkatan daya saing Bali di kancah internasional. Namun, penurunan signifikan dari wisatawan domestik bisa berdampak pada sektor-sektor penopang seperti akomodasi kelas menengah, usaha mikro kuliner, dan destinasi berbasis komunitas yang mayoritas ditopang oleh wisatawan nusantara. Hal ini bisa berimplikasi terhadap stabilitas lapangan kerja lokal, terutama sektor informal dan pariwisata berbasis desa.
Risiko PHK di Tengah Penurunan Wisatawan Domestik
Puan Maharani menyatakan bahwa PHK merupakan ancaman yang harus diperhatikan. Ini selaras dengan, Kondisi riil di lapangan seperti banyaknya pelaku industri pariwisata, terutama hotel dan restoran di kelas ekonomi menengah bawah, mulai melakukan efisiensi karena okupansi yang tidak stabil.
Kemudian dampak ekonomi berlapis yakni penurunan wisatawan domestik bisa menggerus pendapatan harian hotel kecil, transportasi lokal, dan UMKM pendukung wisata.
Menurut data BPS Bali per awal 2025:
• Tingkat hunian hotel berbintang hanya menyentuh rata-rata 52–58%, turun dari puncak 70% di kuartal akhir 2024.
• Sektor informal menyerap lebih dari 25% tenaga kerja pariwisata, yang paling rentan terhadap gejolak kunjungan wisata.
Persaingan Global dan “Black Campaign”
Gubernur Koster menyebut adanya upaya “pesaing Bali yang ingin membentuk citra buruk Bali.” Hal ini tidak sepenuhnya tidak berdasar. Dalam era digital, reputasi destinasi sangat mudah digoyang oleh kampanye negatif, baik melalui media sosial, berita clickbait, maupun testimoni wisatawan. Namun, penggunaan narasi ini juga berisiko jika mengabaikan kritik-kritik konstruktif dari stakeholder pariwisata lokal yang menginginkan pembenahan nyata.
Kajian Keseimbangan Narasi
Dalam dunia kebijakan publik, penting untuk menjaga keseimbangan antara optimisme pembangunan dan kewaspadaan sosial ekonomi. Pernyataan Gubernur yang menyodorkan data positif sangat penting untuk menumbuhkan kepercayaan investor dan pelaku pariwisata. Namun, peringatan dari Puan Maharani dapat dimaknai sebagai alarm dini agar pemerintah tidak abai pada gejala-gejala sosial, termasuk potensi PHK, pengangguran terselubung, dan tekanan psikologis pada pekerja informal.
Solusi dan Antisipasi
Pemerintah daerah dan pusat dapat mengambil langkah berikut,
1. Stimulus dan subsidi bagi usaha mikro dan tenaga kerja rentan di sektor pariwisata.
2. Diversifikasi pasar wisatawan domestik melalui promosi luar Jawa, serta insentif transportasi dan paket wisata lokal.
3. Kebijakan re-skilling dan up-skilling untuk tenaga kerja pariwisata agar lebih adaptif terhadap perubahan demand dan teknologi.
4. Early warning system untuk memantau dinamika tenaga kerja di sektor hospitality.
Dengan kesimpulan bahwa data Tak Boleh Menutupi Realita
Narasi pertumbuhan sektor pariwisata Bali memang penting untuk menumbuhkan optimisme. Namun, kewaspadaan terhadap potensi PHK, seperti disampaikan Puan Maharani, perlu dihargai sebagai masukan strategis. Diperlukan sinergi lintas sektor, data mikro yang lebih detail, serta empati terhadap lapisan masyarakat paling rentan agar Bali benar-benar bangkit tidak hanya dari segi angka, tetapi juga dari segi kesejahteraan. (Ray)
Saat ini belum ada komentar