Simbol Ular dalam Spiritualitas Timur, Mengapa Dibenci dalam Ajaran Abrahamik?
- account_circle Ray
- calendar_month Sab, 28 Jun 2025

DENPASAR – Dalam bentangan sejarah spiritual dunia, simbol ular telah menjadi figur penuh makna, sekaligus kontroversial. Dalam ajaran Timur seperti Tantra, ular justru dipuja sebagai lambang energi spiritual tertinggi. Namun dalam tradisi agama-agama Abrahamik seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, ular digambarkan sebagai musuh utama manusia, dikatakan sosok penggoda yang membawa petaka. Lalu, mengapa ada perbedaan tafsir begitu tajam terhadap simbol yang sama?
Ular dalam Tantra, Lambang Kesadaran Semesta
Dalam spiritualitas Tantra, terutama yang berkembang di India, ular bukan sekadar makhluk melata, melainkan personifikasi dari energi shakti kundalini. Energi ini diyakini bersemayam di cakra paling dasar manusia, yaitu Muladhara Chakra, dan ketika dibangkitkan, ia akan naik secara melingkar hingga mencapai Sahasrara Chakra atau cakra mahkota di ubun-ubun kepala.
Proses naiknya energi ini sering digambarkan sebagai gerakan ular yang terbangun dari tidur panjangnya, menuju kesatuan ilahi. Ketika energi kundalini mencapai titik tertinggi dan menyatu dengan “percikan ilahi” di cakra mahkota, terjadilah yang disebut sebagai ledakan kesadaran. Dalam pemahaman ini, seseorang mengalami pencerahan total, tidak lagi tunduk pada batas-batas duniawi, termasuk batasan doktrinal agama.
“Begitu kundalini bangkit sepenuhnya, kesadaran seseorang tidak lagi bisa dijajah oleh doktrin atau dogma apa pun,” ujar seorang praktisi Yoga Kundalini asal Ubud, Bali. “Ia merdeka sebagai roh, sadar sebagai bagian dari semesta.”
Dalam Ajaran Abrahamik, Ular sebagai Iblis
Berbeda dengan itu, narasi besar dalam ajaran Abrahamik justru meletakkan ular dalam posisi antagonis. Dalam Kitab Kejadian, ular adalah makhluk yang menggoda Hawa untuk memakan buah pengetahuan dari pohon terlarang di Taman Eden. Tindakan ini menyebabkan manusia pertama, Adam dan Hawa terusir dari surga.
Dalam tafsir klasik Yahudi dan Kristen, ular sering dianggap sebagai manifestasi dari Iblis. Pandangan ini kemudian diperkuat dalam teologi Islam, meskipun Al-Qur’an sendiri tidak secara eksplisit menyebut ular sebagai pelaku, melainkan hanya “setan”.
Akar dari narasi ini sebenarnya bukan sekadar peristiwa sejarah spiritual, tetapi juga merupakan bentuk konstruksi simbolik yang membangun struktur kuasa. Dalam pandangan ini, pengetahuan dan kesadaran bebas, sebagaimana dilambangkan dalam buah terlarang dianggap sebagai ancaman terhadap otoritas Tuhan (dalam versi teistik paternalistik) dan institusi agama.
Konflik Simbolik, Spiritualitas Bebas vs Dogma Institusional
Simbol ular dalam Tantra dan dalam ajaran Abrahamik sesungguhnya mempresentasikan dua paradigma yang bertolak belakang. Di satu sisi, ular dalam Tantra adalah simbol pembebasan spiritual, kemerdekaan batin, dan pencerahan ilahi. Sementara di sisi lain, dalam dogma Abrahamik, ular adalah simbol pembangkangan, kesalahan, dan sumber dosa.
Inilah yang memunculkan asumsi di kalangan spiritualis bebas bahwa ajaran Abrahamik secara sistematis menolak simbol-simbol pembebasan kesadaran, karena berpotensi melemahkan kontrol dogmatis terhadap umat. Ketika seseorang berhasil membangkitkan kundalini, mereka tidak lagi mudah diatur, tidak lagi tunduk pada rasa takut terhadap neraka, atau haus akan janji surga.
“Bagi yang telah mengalami ledakan energi kundalini, agama bukan lagi keharusan, tapi sekadar pilihan,” kata Kim B.M., seorang peneliti spiritual dan penulis metafisika.
Persimpangan Jalan Spiritualitas Dunia
Namun, melihat dari sisi yang lebih netral, simbol ular menjadi cermin perbedaan orientasi spiritual antara Timur dan Barat. Barat, melalui ajaran Abrahamik, menekankan ketaatan, kehendak ilahi, dan struktur moral yang mapan. Sementara Timur, khususnya melalui filsafat yoga, tantra, dan kejawen, lebih menekankan pada kesadaran individual dan pengalaman langsung dengan realitas tertinggi.
Perbedaan itu tidak mesti saling meniadakan, tetapi bisa menjadi pengayaan bagi mereka yang haus akan pemahaman spiritual yang lebih utuh. Dalam dunia yang terus berkembang, mungkin sudah saatnya umat manusia melihat simbol-simbol kuno ini bukan dengan kebencian, tetapi dengan pemahaman lintas budaya dan kesadaran kolektif yang lebih luas. (Ray)
Saat ini belum ada komentar